Senin, 14 Juli 2008




operasi mioma uteri di rsu prof WZ johannes kupang, mioma seberat kira-kira 10kg

male infertility

Dr. Nono Tondohusodo, M.Kes, Sp.And
Tim Bayi Tabung “ Graha Tunjung”
Sub.Bag. Fertilitas Endokrinologi Reproduksi (FER)
BAG/SMF Obstetri & Ginekologi FK UNUD Denpasar

Pasangan disebut infertil jika belum terjadi kehamilan setelah menikah 1 tahun atau lebih, dengan catatan pasangan tersebut melakukan hubungan seks secara teratur tanpa alat kontrasepsi.Infertilitas pasangan suami istri kurang lebih merupakan 10 - 15 % dari pasangan usia subur. Kurang lebih setengah dari jumlah itu disebabkan oleh faktor pria. Pada masa lalu kebanyakan anggapan menyebutkan bahwa yang menjadi penyebab utama infertilitas pasangan adalah pihak wanita. Pandangan tersebut akhir-akhir ini berubah bahwa infertiltas adalah problem pasangan yaitu suami dan istri.
Penyebab infertiltas pria antara lain karena faktor potensi generandi dan potensi coendi, yaitu kendala pada komponen untuk memproduksi sel-sel benih dan kegagalan untuk dapat berhubungan seks. Maka dari itu penanganan infertilitas pria diupayakan untuk meningkatkan kedua potensi tersebut.
Penyebab kegagalan potensi generandi meliputi faktor pre testikuler, testikuler dan post testikuler. Faktor pre testikuler misalnya kelainan yang terjadi pada daerah sebelum testis misalnya di hipotalamus dan hipofisa ( hipogonadisme sekunder). Kelainan testikuler adalah kelainan yang terdapat di testis yaitu hipogonadisme primer. Berbagai kelainan genetik, kelainan kongenital, infeksi, radiasi, obat-obatan, trauma dan proses aging termasuk kausa primer pada gangguan testis. Kelainan post testikuler yaitu kelainan pada daerah setelah testis misalnya epididimis, vesika seminalis, prostat dan kelenjar seks asesoris.
Untuk melihat penyebab infertilitas pria dapat dilakukan dengan pemeriksaan analisa sperma. Semua unsur dalam analisa sperma dapat berpotensi secara tunggal atau bersama untuk berpengaruh pada status fertilitas seorang pria. Hasil analisa sperma ditambah dengan anamnesis , pemeriksaan fisik, laboratorium umum dan laboratorium andrologi dapat merupakan alat guna mengetahui kasus infertilitas pria. Penyebab infertilitas pria karena disfungsi seksual dapat berupa kelainan vaskuler, neurologis, penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit pada penis atau adanya gangguan psikologis. Beberapa jenis obat-obatan tertentu telah diketahui mempunyai efek samping berupa disfungsi seksual.
Usaha-usaha untuk mengatasi infertilitas pria telah dilakukan oleh banyak pihak dan WHO telah membuat suatu penuntun penatalaksanaan infertilitas pria. Tetapi telah diketahui bahwa hampir separuh penyebab infertilitas pria tidak diketahui, sehingga pengobatan tidak bisa diarahkan dengan tepat. Disamping itu banyak kelainan-kelainan yang menyebabkan infertilitas pria sudah tidak dapat diobati atau pengobatannya tidak terlalu efektif. Jadi secara umum sampai saat ini dapat dikatakan hasil pengobatan infertilitas pria masih mengecewakan.
Misalnya untuk pengobatan biasa dengan faktor penyebab infertilitas pria, maka angka kehamilan per siklus sekitar 3 %. Ini berarti dari 100 pria diobati maka dalam bulan pertama yang berhasil menghamili istrinya adalah 3 orang. Tampaknya cukup sedikit, tetapi ini adalah proses reproduksi alamiah sehingga akan berulang dan bertambah terus tiap bulan. Secara kumulatif dalam setahun sekitar 30 orang berhasil dan dalam 2 tahun secara keseluruhan 50 orang berhasil. Setelah 2 tahun angka ini angka ini biasanya tidak akan banyak bertambah, sehingga masih ada 50 % pria yang belum berhasil walaupun telah dihilangkan penyebabnya. Oleh karena itu ditempuh alternatif lain melalui rekayasa untuk meningkatkan kemampuan reproduksi pria dengan teknologi yang secara umum disebut Assisted Reproductive Technology (ART).
ART memegang peranan penting dalam penanganan infertilitas pria, bukan hanya karena merupakan cara pengobatan yang cukup berhasil, tetapi juga mempunyai nilai diagnostik untuk menguji kemampuan fertilitas spermatozoa seperti pada metode fertilisasi in-vitro (IVF). Indikasi ART untuk faktor pria bisa meliputi infertilitas imunologik, oligo-/ astheno-/ terato zoospermia idiopatik dan infertilitas pria yang gagal dengan pengobatan kausal. Dengan berhasilnya injeksi sperma intra sitoplasmik (ICSI) maka indikasinya meluas untuk hampir semua masalah infertilitas pria termasuk OAT berat , kegagalan fertilisasi pada IVF bahkan untuk azoospermia baik obstruktif maupun non obstruktif.
Ada beberapa macam metode ART dimana masing-masing metode memiliki keunggulan dan keterbatasan sendiri-sendiri. Metode yang cukup sederhana adalah IUI, membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah dan dapat diulang beberapa kali, tetapi angka keberhasilannya rendah serta syarat saluran telur tidak boleh buntu dan kualitas sperma tidak terlalu jelek. Sedangkan pada metode IVF-ET bisa dikerjakan pada saluran telur buntu dan kualitas sperma yang relatif kurang. Keuntungan lain yaitu fertilisasi bisa diamati untuk menilai potensi fertilisasi sperma dan sel telur. Angka kehamilannya tidak terlalu tinggi. Metode ICSI tentunya merupakan pilihan untuk kelainan sperma yang sangat berat dengan keberhasilan paling tinggi, tetapi keterbatasannya adalah memerlukan peralatan yang canggih dan biaya mahal. ICSI dapat dilakukan pada pria azoospermia dengan menggunakan spermatozoa berasal dari epididimis melalui prosedur MESA (Microsurgically Epididymal Sperm Aspiration) dan juga dari testis melalui prosedur TESE (Testicular Sperm Extraction). Angka keberhasilan pasangan biasanya diungkapkan dengan angka kehamilan per siklus.
Dengan teknologi yang ada pada saat ini , tidak semua pasangan yang mengikuti program ini akan menjadi hamil. Dilain pihak, banyak pasangan-pasangan yang tidak mungkin hamil menjadi hamil dengan melalui proses rekayasa ini.
PENANGANAN INFERTILITAS PRIA






















Oleh :
Dr. Nono Tondohusodo, M.Kes. Sp.And
Tim Bayi Tabung “ Graha Tunjung”
Sub.Bag. Fertilitas Endokrinologi Reproduksi (FER)
BAG/SMF OBGIN FK UNUD/RS SANGLAH DENPASAR
2004

induksi ovulasi

Anantasika
Sub Bagian Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi
Bagian/SMF Obstetri & Ginekologi
FK Univ.Udayana, RS Sanglah
Denpasar.



ABSTRAK.

Disfungsi ovulasi merupakan masalah utama pada sekitar 40% infertilitas wanita. Dengan berkembangnya pemakaian Transvaginal Ultrasonografi maka kejadian kegagalan ovulasi menjadi semakin sering ditemukan pada praktek sehari-hari. Dengan demikian menjadi semakin penting bagi kita adalah bagaimana menangani kasus anovulasi khususnya dikaitkan dengan keinginan untuk hamil.
Klomifen sitrat telah lama dipakai sebagai obat untuk anovulasi. Pada kasus-kasus yang resisten terhadap klomifen sitrat, berbagai preparat dikombinasikan untuk mendapatkan perkembangan folikel yang diharapkan seperti Insulin sensitizer -metformin, deksamethason, injeksi hCG, serta gonadotropin yang akan dibahas dalam makalah ini.
“Controlled Ovarian Hyperstimulation” pada teknik reproduksi dibantu (TRB) bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak oosit sehingga diharapkan akan lebih banyak didapatkan embryo, dan karenanya pemilihan embrio yang bakal ditransfer menjadi lebih leluasa, dan memungkinkan pula untuk melakukan transfer embrio lebih dari satu, 3-4, yang akan meningkatkan kemungkinan menjadi hamil.
Terdapat banyak sekali macam protokol stimulasi, untuk memahaminya diperlukan pengertian dasar tentang fisiologi terjadinya ovulasi. Stimulasi ovulasi dengan Gonadotropin dimulai pada hari ke 2-3 siklus haid ,sebelum terbentuknya folikel dominan.
Pemakaian GnRHa atau GnRH antagonis ditujukan untuk menghindari terjadinya lonjakan premature LH. GnRHa dapat diberikan secara short protocol, dimulai pada hari ke-2 siklus haid, atau long protocol yang dimulai pada hari ke 21 siklus haid sebelumnya. Sedangkan GnRH antagonis dapat diberikan dengan dosis tunggal, 3 mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda setiap hari 0,25 mg mulai hari ke 7 siklus haid sampai saat pemberian hCG - bila penampang folikel sudah mencapai 18 mm atau lebih, atau bila kadar serum estradiol 200 pg/ml untuk setiap folikel yang mempunyai penampang 14 mm atau lebih. Tetapi total seluruh kadar serum estradiol tidak boleh melebihi 3000 pg/ml. Komplikasi stimulasi ovulasi yang perlu diwaspadai adalah adanya sindroma hiperstimulasi ovarium. Fase luteal dapat ditunjang dengan progesterone atau hCG. Pemberian progesterone untuk menunjang fase luteal dapat menghindari komplikasi sindroma ovarium hiperstimulasi yang sudah ada menjadi lebih berat.




PENDAHULUAN.

Disfungsi ovulasi merupakan masalah utama pada sekitar 40% infertilitas wanita. Dengan berkembangnya pemakaian Transvaginal Ultrasonografi maka kejadian kegagalan ovulasi menjadi semakin sering ditemukan pada praktek sehari-hari. Dengan demikian menjadi semakin penting bagi kita adalah bagaimana menangani kasus anovulasi khususnya dikaitkan dengan keinginan untuk hamil.
Siklus ovulatoir panjangnya bervariasi antara 25-35 hari. Sedang siklus anovulatoir bisa lebih pendek atau lebih panjang. Sering kali wanita dengan anovulasi mengalami kurang dari 6 kali menstruasi setahunnya atau oligomenore.
Klomifen sitrat telah lama dipakai sebagai obat untuk anovulasi. Pada kasus-kasus yang resisten terhadap klomifen sitrat, berbagai preparat dikombinasikan untuk mendapatkan perkembangan folikel yang diharapkan seperti Insulin sensitizer -metformin, deksamethason, injeksi hCG, serta gonadotropin yang akan dibahas dalam makalah ini.
“Controlled Ovarian Hyperstimulation” pada teknik reproduksi dibantu (TRB) bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak oosit sehingga diharapkan akan lebih banyak didapatkan embryo, dan karenanya pemilihan embrio yang bakal ditransfer menjadi lebih leluasa, dan memungkinkan pula untuk melakukan transfer embrio lebih dari satu, 3-4, yang akan meningkatkan kemungkinan menjadi hamil.

Sebagai langkah awal stimulasi ovulasi harus dilakukan evaluasi pendahuluan serta dipahami bagaimana ovulasi terjadi.

EVALUASI PENDAHULUAN.

Eksklusi kelainan Hipofise, adrenal, dan Thiroid, yang memerlukan penanganan spesifik.
Mencari penyebab anovulasi melalui pemeriksaan kadar serum puasa :
TSH, FSH, Prolaktin, 17-OH Progesteron, Glukosa, Insulin.
Endometrial Sampling : untuk prolonged anovulasi tanpa progesteron.
Sperma Analisa.
HisteroSalfingoGrafi / Laparoskopi diagnostik.
Penilaian Obesitas.
Suplemen Asam folat 400 mg.


FISIOLOGI OVULASI.

Ovulasi pada siklus alami biasanya hanya menghasilkan satu oosit saja . Hal ini merupakan hasil interaksi yang sangat harmonis antara hipotalamus, hipofisa, ovarium dan interaksi intrafolikuler (autokrin, parakrin).

Hipotalamus – Hipofisa.

Hipotalamus (nukleus arkuatus) menghasilkan gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang disekresi secara pulsatil dengan amplitudo dan frekwensi dalam batas tertentu, yang disebut “critical range”. Sekresi yang keluar dari batas ini akan mengakibatkan gangguan ovulasi. Rangsangan GnRH secara pulsatil akan menghasilkan sekresi gonadotropin (FSH dan LH) secara pulsatil pula.
Pada urutan berikutnya gonadotropin akan merangsang proses folikulogenesis dan steroidogenesis di ovarium, yang berakhir dengan ovulasi (satu oosit) dan terbentuknya korpus luteum yang menghasilkan cukup progesterone. Hubungan hipotalamus, hipofisa dan ovarium ini mempunyai ikatan yang saling mempengaruhi, saling tergantung. Masing masing hormone reproduksi mempunyai kadar yang naik turun /fluktuasi, dengan urutan dan irama yang baku dari waktu kewaktu dalam satu siklus ovulasi/haid seperti suatu orkestrasi dengan harmoni yang sangat baik.

Pulsasi sekresi GnRH dengan amplitudo dan frekwensi dalam batas “critical range” ini dipertahankan melalui tiga mekanisme hubungan :

Umpan balik lengkung panjang.
GnRH merangsang hipofisa untuk menghasilkan gonadotropin, kemudian gonadotropin ini akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan folikel serta sekresi steroid seks (estrogen dan progesterone) oleh ovarium. Kadar serum estrogen dan progesterone yang dihasilkan oleh ovarium ini memberikan umpan balik lengkung panjang kehipotalamus maupun hipofisa. Kadar serum estrogen dan progesterone ikut mengendalikan sekresi GnRH dan gonadotropin.
Umpan balik lengkung pendek.
Gonadotropin yang dihasilkan hipofisa mengendalikan sekresinya sendiri melalui umpan balik lengkung pendek kehipotalamus dan mempengaruhi sekresi GnRH. GnRH yang dihasilkan nucleus arkuatus diangkut lewat traktus tuberoinfundibular kemudian masuk kedalam aliran darah sistem portal, dan sampailah kehipofisa anterior. Aliran darah sistem portal ini sebagian besar memang kearah hipofisa, hanya sebagian kecil saja kearah sebaliknya, kearah hipotalamus. Aliran darah kearah sebaliknya inilah yang diduga digunakan gonadotropin untuk memberikan umpan balik lengkung pendek kehipotalamus.
Umpan balik lengkung sangat pendek.
Hipotalamus / GnRH mengendalikan sekresinya sendiri.

Hubungan umpan balik ini melibatkan beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter utama yang mempunyai peran pada hubungan umpan balik ini adalah dopamine yang bersifat menghambat (negative), dan norepinephrine yang bersifat merangsang (positive). Neurotransmitter lain yang ikut membantu hubungan umpan balik ini antaranya, endorphin, serotonin, melatonin dan sebagainya.

GnRH yang selalu dalam “critical range” akan merangsang hipofisa baik pada pusat penyimpanan maupun pada pusat sekresi. Pada manusia terdapat dua pusat pengendalian kadar serum gonadotrophin, yaitu pusat sekresi dan pusat penyimpanan yang berada dihipofisa. Kedua pusat pengendalian kadar serum gonadotropin ini selain dipengaruhi oleh GnRH juga dipengaruhi oleh hormone steroid seks. Lingkungan steroid seks inilah yang mengendalikan fluktuasi kadar baik serum FSH ataupun serum LH, dari waktu kewaktu selama siklus haid, meskipun tetap dengan rangsangan satu macam GnRH.





Hipotalamus – hipofisa – ovarium (H-H-O).

Terdapat hubungan yang sangat dinamis pada aksis H-H-O sepanjang siklus haid. Urut urutan hubungan aksis H-H-O ini sudah baku untuk menghasilkan siklus ovulasi yang normal. Kelainan pada hubungan aksis H-H-O akan menyebabkan gangguan ovulasi.

A. Awal siklus.

Pada awal siklus dimana kadar hormon estrogen sangat rendah, rangsangan GnRH akan meningkatkan produksi gonadotropin (FSH,LH) yang sebagian besar disimpan dipusat penyimpanan, untuk persiapan nanti menghadapi lonjakan LH dan FSH pada pertengahan siklus. Hanya sebagian kecil FSH dan LH saja yang disekresi kedalam peredaran darah. Kenaikan kadar serum FSH dan LH secara perlahan (tidak meningkat tajam) ini diovarium akan berdampak :

LH akan merangsang sel teka menghasilkan androgen, yang sangat penting sebagai bahan dasar sintesa estrogen.

FSH akan menyebabkan :

Pertumbuhan dari beberapa primordial folikel.
Proliferasi sel granulosa.
Aromatisasi androgen menjadi estrogen di sel granulosa.
Bersama estrogen membentuk reseptor FSH di sel granulosa.

Pada awal siklus terdapat beberapa folikel, yang masing masing folikel mempunyai nilai ambang kepekaan berbeda beda terhadap rangsangan FSH. Pertumbuhan beberapa folikel ini akan menyebabkan kenaikan kadar estrogen. Pada kurang lebih hari 5-7 siklus haid, terjadi penurunan sekresi FSH (tetapi tidak LH), akibat umpan balik negatif kadar serum estrogen yang semakin tinggi (juga inhibin) keotak. Penurunan sekresi FSH ini akan mengakibatkan terhentinya pertumbuhan (atresia) folikel yang kurang peka (mempunyai ambang kepekaan tinggi) terhadap rangsangan FSH. Pada saat itu hanya ada satu folikel, yang paling peka / “siap”, yang tetap bisa bertahan untuk tumbuh, dan disebut sebagai folikel dominan. Selanjutnya folikel dominan ini tetap akan tumbuh meskipun sekresi FSH semakin menurun. Hal ini disebabkan karena rangsangan gonadotropin sebelumnya menyebabkan kepekaan folikel dominan terhadap FSH semakin meningkat Hal ini menyebabkan pada siklus alami hanya terjadi satu ovulasi saja, setiap bulannya.

B. Pertengahan siklus – pre ovulasi.

Pertumbuhan folikel dominan yang semakin besar mengakibatkan kadar estrogen semakin meningkat pula. Pada saat kadar estradiol sama atau lebih dari 200 pg/ml yang bertahan lebih dari 50 jam maka terjadi umpan balik positif terhadap LH. Rangsangan GnRH pada lingkungan kadar estrogen yang tinggi ini akan melepaskan simpanan gonadotropin yang selama ini “ditabung” dipusat penyimpanan untuk dipindahkan kepusat sekresi dan dilepaskan kedarah sehingga terjadilah lonjakan LH.

Lonjakan LH ini berperan :

Menghancurkan Oocyte Maturation Inhibitor (OMI), sehingga miosis /oogenesis yang tadinya terhenti selama fase folikuler (folikulogenesis), berjalan kembali dan saat itu dilepaskanlah badan polar I. Oleh karenanya oosit yang sudah masak ditandai dengan tampaknya badan polar I ini.
Merangsang produksi prostaglandin dari sel granulosa, yang berperan untuk “memecahkan” dinding folikel saat ovulasi.
Menyebabkan terjadinya luteinisasi minimal (tidak maksimal karena masih ada oosit) pada sel teka, maka terjadilah sedikit peningkatan sekresi progesterone. Sedikit peningkatan kadar progesterone ini akan memperkuat umpan balik positif keotak dan terjadilah selain lonjakan LH juga lonjakan FSH. Peningkatan progesterone dan FSH ini mengaktifkan enzim proteolitik untuk membantu “menghancurkan” dinding folikel saat ovulasi. Selain itu FSH pada pertengahan siklus ini bersama estradiol membentuk reseptor LH di sel granulosa. Pertumbuhan folikel yang baik ini sangat penting agar terbentuk korpus luteum yang baik pula nantinya pada fase luteal.

C. Ovulasi dan fase luteal.

Segera setelah oosit meninggalkan folikel maka akan terjadi luteinisasi sempurna sel granulose, yang diikuti dengan lonjakan sekresi progesterone. Kenaikan tajam kadar serum progesterone (dampaknya berbeda dengan sedikit peningkatan) ini akan menekan sekresi gonadotropin, sampai siklus berikutnya. Ovulasi terjadi kurang lebih 36 jam dari saat dimulainya lonjakan LH. Penentuan saat ovulasi ini penting untuk menentukan saat inseminasi atau pengambilan oosit pada proses bayi tabung. Setelah ovulasi terjadi maka akan dilanjutkan masuk kedalam fase luteal. Fase luteal yang baik merupakan hasil dari serangkaian kerja sama antara GnRH, gonadotropin, dan seks steroid yang dihasilkan oleh folikel yang tumbuh dengan baik pula. Fase luteal yang baik akan menghasilkan hormone progesterone yang cukup, yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup buah kehamilan. Kadar progesterone dan juga estrogen berada dipuncaknya pada hari + 7 dari ovulasi, dan bila tidak terjadi kehamilan kadar kedua hormone tersebut akan turun perlahan sampai saat haid siklus berikutnya. Bila terjadi kehamilan kadar progesterone akan tetap bertahan karena adanya rangsangan hCG yang dihasilkan oleh sel trofoblas. Bila dikaji lebih jauh maka hari + 7 ovulasi, saat puncak kadar progesteron terjadi pada siklus normal, bertepatan dengan terjadinya implantasi, tertanamnya buah kehamilan kedalam dinding uterus / endometrium.


STIMULASI OVULASI.

KLOMIFEN SITRAT.

Merupakan preparat yang paling sering digunakan untuk stimulasi ovulasi. Strukturnya memungkinkan berikatan dengan reseptor estrogen, dan mempengaruhi reseptor berminggu-minggu. Ikatan yang lama ini mempengaruhi “replenishment” reseptor estrogen di hipothalamus.
Dengan ikatan klomifen sitrat, hipothalamus tidak dapat mengetahui kadar estrogen endogen dan menganggapnya rendah. Sebagai respon , hipothalamus merubah pulsatilitas GnRH sehingga sekresi gonadotropin hipofise meningkat.
Mekanisme kerja utama klomifen sitrat adalah pada hipothalamus, ada juga bukti yang menunjukkan klomifen sitrat berikatan dengan reseptor estrogen di hipofise, secara langsung merangsang pelepasan gonadotropin.
Kedua mekanisme ini bekerja sinergis, meningkatkan pelepasan FSH dan memungkinkan perkembangan folikel di ovarium.
Klomifen sitrat tidak dapat menginduksi ovulasi pada wanita yang hipoestrogen.
Pada lingkungan yang estrogenic, ovulasi dapat terjadi lebih dari 80%.
Klomifen sitrat dimulai secara empiris pada hari ke lima siklus, baik pada menstruasi spontan maupun setelah pemberian progestin.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemakaian Klomifen sitrat adalah :

- memulai Klomifen sitrat lebih awal ( hari ke 2-4) tidak merubah angka ovulasi, kehamilan, dan abortus.
- Pada kegemukan (>100 kg) , 20% ovulasi terjadi pada dosis awal 50mg, jadi diperlukan dosis awal lebih tinggi.
- Dosis Klomifen sitrat dinaikkan 50 mg sampai maksimum 200-250 mg/hr selama 5 hari. Tabel 1 menunjukkan angka ovulasi dan kehamilan pada penaikkan dosis.
- Pada awalnya ditetapkan dosis Klomifen sitrat dapat dipakai sampai 100 mg, dan hanya untuk 3 kali pemberian ulangan. Dalam praktek klinik rekomendasi ini sering di abaikan, khususnya pada keadaan keadaan dimana pemberian Klomifen sitrat lebih menguntungkan. Oleh karena itu dosis melebihi 100 mg/hari sering dipakai
- 75 % keberhasilan kehamilan terjadi pda tiga siklus ovulatoir yang pertama.
- Adanya ovulasi dapat dideteksi (berdasarkan urutan sensitivitas) dengan USG, urinary LH surge, dan temperatur basal badan.


KARAKTERISTIK SIKLUS KLOMIFEN SITRAT.


Siklus Klomifen sitrat berbeda dengan siklus ovulasi spontan.

- Fase follikuler lebih panjang.
- Diameter folikel saat LH surge lebih besar.

Jika Klomifen sitrat dimulai hari ke 5, LH surge terjadi sekurang-kurangnya 5 hari setelah Klomifen sitrat terakhir (hari-14). Kebanyakan mengalami surge lebih lambat ( hari 15-17), bahkan sampai hari ke 21. Diameter folikel rata-rata 25 mm, dibandingkan dengan 19 mm pada siklus spontan.
Pada siklus Klomifen sitrat yang ovulatoir , perkembangan endometrium sama dengan siklus ovulasi spontan, dengan ketebalan rata-rata sekitar masa ovulasi 11 mm.





Kadar hormon pada siklus Klomifen sitrat.

- Pada siklus Klomifen sitrat ovulatoir, kadar estradiol pada saat terjadi surge adalah 750 pg/ml (225-2750 pg/ml), jauh lebih tinggi daripada siklus spontan (200-300 pg/ml).
- 10 hari setelah LH surge, kadar FSH rata-rata 11 mIU/ml, pada siklus ovulatoir, dibandingkan dengan 8 mIU pada siklus Klomifen sitrat anovulatoir. Perbedaan ini menunjukkan bahwa keberhasilan induksi dengan Klomifen sitrat bergantung pada kesinambungan kemampuan hypothalamus dan hipofise meningkatkan sekresi FSH. Penting diingat nilai ambang FSH yang harus dicapai dan dipertahankan untuk mendapatkan ovulasi.
- Wanita yang resisten terhadap Klomifen sitrat tidak mampu membentuk respon FSH yang adekuat. Mungkin terdapat hormon hormon lain yang merubah pelepasan FSH oleh hypothalamus dan hipofise sebagai respon terhadap Klomifen sitrat , seperti insulin, leptin, atau androgen.

MONITORING SIKLUS.

USG dilakukan 5 hari setelah dosis Klomifen sitrat terakhir. Dilakukan penilaian terhadap jumlah dan ukuran folikel preovulatory, serta grading dan ketebalan endometrium.
Jumlah folikel lebi dari satu dapat terjadi pada sepertiga siklus Klomifen sitrat dengan dosis terrendah.
Sekali dosis ovulatory Klomifen sitrat dapat ditentukan, siklus berikut dengan dosis yang sama tetap mmerlukan monitoring untuk meyakinkan berlanjutnya respon ovulasi.
15% wanita yang pada awalnya berrespon terhadap dosis tertentu, selanjutnya menjadi refrakter, dan memerlukan peningkatan dosis . Respon terhadap dosis dapat berubah sepanjang waktu.
Oleh karena itu dosis terrendah yang dapat menimbulkan ovulasi harus ditentukan, dan selanjutnya dimonitor dengan USG, dosis dinaikkan bila tidak terjadi ovulasi.
Hampir semua kehamilan terjadi pada 6 siklus ovulatoir yang pertama., dan meneruskan therapi Klomifen sitrat melebihi 6 siklus tidak memiliki keuntungan klinis.

EFEK SAMPING.

Terdapat kemungkinan 30% perkembangan multifolikel, tetapi kehamilan pada siklus Klomifen sitrat biasanya tunggal, dengan angka kehamilan ganda 8%.
Pada uji klinis yang melibatkan 7000 wanita dengan ovulasi dan anovulasi, terjadi 2600 kehamilan, insiden kehamilan ganda didapatkan 8%, dengan 7% kembar dua, 0,5% triplet, 0,5% quadruplet, dan 0,1% quintuplet.
Gangguan penglihatan berupa blurring, spot, flashes dapat terjadi serte bertambah sering dengan meningkatnya dosis. Keluhan membaik seminggu setelah dosis terakhir, sehingga bila mengkonsumsi Klomifen sitrat disarankan brhati-hati dalam aktifitas berkendara.
Keluhan lain dapat berupa hot flushes, bloating, nausea dan vomiting, breast tenderness, sakit kepala, spotting intermenstrual, dan menorrhagia. Muncul perasaan penuh/nyeri abdomen karena perkembangan folikel, yang dapat ditangani dengan acetaminofen, pelvic rest, serta memodifikasi aktifitas fisik.
Setelah satu siklus multifolikel, non konsepsi, mungkin terdapat persistensi satu/lebih area hipoechoic di ovarium. Kista ovarium sebagai akibat klomifen sitrat bersifat asimptomatik. Penelitian menunjukkan bahwa kista ovarium yang lebih besar dari 10mm menurunkan kemungkinan kehamilan pada siklus yang memakai gonadotropin sebagai induksi ovulasi.
Tidak ada penelitian tentang efek residual ovarian cyst pada siklus klomifen sitrat. Tapi tampaknya kista yang lebih besar dari 20 mm akan mempengaruhi siklus klomifen sitrat berikutnya.
Sebelum memulai suatu siklus , USG basal dilakukan untuk menentukan apakah terdapat sisa-sisa aktifitas ovarium.

Tindakan stimulasi pada ovarium dengan kista ovarium akan mengakibatkan kista tersebut tidak mengalami resolusi. Masa satu bulan bebas klomifen sitrat akan memungkinkan terjadinya resolusi spontan.
Tidak ada manfaat kontrasepsi oral kombinasi dalam menekan kista ovarium.
Kista ovarium yang bertahan lebih dari 9 minggu kmungkinan bersifat neoplastik, tidak fungsional, yang memerlukan aspirasi/pengangkatan sebelum induksi ovulasi dilanjutkan.

Hubungan antara Ca Ovarium dengan klomifen sitrat tetap controversial. Pasien yang mendapatkan klomifen sitrat harus di KIE akan adanya kemungkinan resiko Ca Ovarium bila tetap tidak terjadi kehamilan.
Hampir semua kehamilan terjadi dalam 3-4 siklus ovultoir, jarang terjadi setelah 6 siklus.
Pemakaian klomifen sitrat melebihi 12 siklus harus dilakukan dengan hati-hati, khususnya pada nullipara.
Pemakai klomifen sitrat yang tidak hamil disarankan memakai ontrasepsi hormonal untuk mencegah Ca Ovarium.


THERAPI TAMBAHAN PADA KLOMIFEN SITRAT.


1. Insulin Sensitizers.

Sekalipun 85-90% therapi klomifen sitrat pada anovulasi yang estrogenic akan menghasilkan ovulasi, hanya 40-50% mencapai kehamilan. Karenanya sejumlah wanita yang refrakter thd klomifen sitrat (disebut CC resistant) akan memerlukan pengobatan tambahan untuk berhasil hamil.
Kelainan endokrin tersering di bidang anovulasi estrogenic adalah Sindroma Ovarii Polikistik.
Resistensi insulin dengan kompensasi hiperinsulinemia dapat merupakan gambaran sindroma ini dan mungkin sebagai penyebab hiperandrogen dan anovulasi kronis.
Rasio glukosa-insulin puasa telah dievaluasi sebagai marker resistensi insulin.
Setelah puasa semalam, ditentukan kadar insulin dan glukosa. Ratio Glukosa:Insulin kurang atau sama dengan 4,5 menunjukkan resistensi insulin.
Cara lain adalah dengan euglycemic clamp tehnique yang lebih rumit , atau dengan kadar insulin puasa saja.

Pada penelitian random , Metformin menurunkan respon insulin serum terhadap pemberian glukosa oral, dan meningkatkan ovulasi (spontan – kombinasi dengan klomifen sitrat) dibandingkan plasebo.
Pada kasus anovulasi, kelompok metformin menginduksi 90% ovulasi (spontan/+ klomifen sitrat) dibandingkan 12% pada kelompok plasebo + klomifen sitrat.
Pada penelitian ini kadar insulin puasa rata rata adalah 20 mIU/ml, Glukosa puasa rata rata 75mg/dl.
Efek samping metformin yang paling sering adalah keluhan gastrointestinal dan diare.
Untuk mengurangi leluhan ini dianjurkan peningkatan dosis bertahap.
Metformin tidak menyebabkan hipoglikemi.
Obat lain : Troglitazone, Rosiglitazone, D Chiro-inositol.

2. Deksamethason.

Androgen adrenal khususnya dehydroepiandrosterone sulfat dan androstenedione serta metabolitnya estrone dan testosterone secara teoritis mempengaruhi aksis HHO. Dengan menekan androgen produksi adrenal ini akan memperkuat kerja klomifen sitrat .
Kombinasi deksamethason dan klomifen sitrat diberikan pada waita dengan kadar DHEAS > 200 mg/dl.
Penting dicatat glukokortikoid dapat menimbulkan eksaserbasi resistensi insulin.

3. Human Chorionic Gonadotropin (hCG).

Pada wanita yang tidak menunjukkan LH surge sekalipun gambaran USG menunjukkan perkembangan folikel yang baik, mungkin memerlukan suplementasi hCG.
HCG diberikan pda hari dimana diperkirakan diameter folikel mencapai 25mm/lebih, dan ovulasi terjadi 36-42 jam setelah hCG.
Sebagai tambahan , kecepatan perkembangan folikel 2-3mm/hr pada sekitar 5 hari sebelum ovulasi.

4. HMG (Human Menopausal Gonadotropin)

Terdapat level treshold FSH yang diperlukan untuk menunjang perkembangan folikel dan ovulasi.
Terdapat sekelompok wanita dengan anovulasi dan estrogenic yang tidak mampu membuat dan atau mempertahankan pelepasan FSH yang adekuat sebagai respon terhadap klomifen sitrat. Pada kelompok ini pemberian gonadotropin akan bermanfaat.
Protokolnya :

- klomifen sitrat mulai hari ke 5, dosis maksimum 200mg/hr.
- saat dosis terakhir ditambahkan injeksi gonadotropin harian (75-225IU)
- USG dilakukan setelah 4 dosis gonadotropin untuk mengevaluasi respon ovarium, penyesuaian dosis, serta menentukan saat pemberian hCG yaitu setelah ditemukan sekurangkurangnya satu folikel dengan diameter > 17mm.


Protokol ini memiliki pregnancy rate 44%, dengan multiple gestation rate 10,5%. Serta memiliki keuntungan dimana dosis gonadotropin yang dipakai lebih rendah ( keuntungan ekonomis), serta efek samping yang lebih rendah dalam hal resiko kehamilan multiple dan terjadinya OHSS.


STIMULASI OVULASI PADA TRB.

Tahapan dan peran beberapa sediaan untuk stimulasi ovulasi pada TRB :

GnRHa atau antagonis.
Gonadotropin.
Monitoring.
Penunjang fase luteal.

A. Pemberian GnRHa atau antagonis.

Pemberian GnRHa atau antagonis ini bertujuan untuk menekan sekresi GnRH dan gonadotropin endogen, dengan harapan :

Menghindari pengaruh gonadotropin endogen, sehingga kadar gonadotropin benar benar terkendali, tidak terjadi lonjakan LH diluar pengamatan (lonjakan LH premature). Selain itu saat untuk pengambilan oosit dapat diatur waktunya, sesuai dengan yang dikehendaki (pada pagi/siang hari).
Menekan estrogen untuk menekan pertumbuhan endometriosis. Ada pendapat bahwa pada kasus endometriosis berat, sebaiknya diberikan GnRHa dengan protokol panjang, untuk menekan pengaruh negatif (gangguan respon kekebalan tubuh) yang dihasilkan oleh endometriosis sebelum diberikan stimulasi ovulasi.
Menekan kadar LH pada kasus Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK). Kadar LH yang tinggi dari awal pada SOPK akan menurunkan kwalitas oosit. Hal ini salah satunya diduga akibat OMI yang sudah lebih awal dihambat kerjanya, oleh LH. Pemberian GnRHa protokol panjang akan menekan LH terlebih dahulu sebelum kemudian diikuti dengan pemberian bersamaan stimulasi ovulasi. Kwalitas oosit diharapkan menjadi lebih baik, dan kemungkinan besar folikel menjadi kurang lebih sama ukuran/pertumbuhannya sehingga memudahkan untuk monitoring.

Pemberian GnRHa ini tidak langsung menekan sekresi gonadotropin. Pada awalnya pemberian GnRHa ini akan memberikan rangsangan (flare up) setelah beberapa waktu baru memberikan penekanan (down regulation). Terdapat beberapa macam protokol pemberian GnRHa ini, tetapi saat ini yang kebanyakan dipakai adalah short protocol dan long protocol. Pada short protocol pemberian GnRHa pada umumnya dimulai pada hari ke-2 siklus haid dan diakhiri pada saat penentuan bahwa folikel sudah masak, dan sudah saatnya diberi hCG. Long protocol pemberian GnRHa dimulai pada hari ke 21 (pertengahan fase luteal) siklus sebelumnya, dan diakhiri sama seperti pada short protocol.
Berbeda dengan GnRHa, GnRH antagonis bekerja langsung menekan sekresi GnRH tidak ada dampak “flare up”. Karena GnRH antagonis bekerjanya langsung menekan, tidak ada “flare up” dan tujuan utama pemberiannya adalah untuk menghindari terjadinya lonjakan LH, maka pemberiannya juga langsung pada saat kemungkinan lonjakan LH tersebut bakal muncul. Terdapat dua macam protokol pemberian GnRH antagonis ini, dosis tunggal dan dosis ganda / beruntun (multiple). Pada umumnya dosis tunggal GnRH antagonis cukup diberikan sekali pada hari ke 8 siklus haid, dengan dosis 3 mg. Pada kasus yang stimulasinya (gonadotropin) memerlukan waktu yang lama (slow responders), pemberian GnRH antagonis dapat diulangi setiap 3-4 hari sampai saat pemberian hCG. Pada protokol dosis ganda GnRH antagonis mulai diberikan pada hari ke-7 siklus haid, dengan dosis 0,25 mg setiap hari sampai saat pemberian hCG.

Apabila dibandingkan antara pemakaian GnRH antagonis protokol tetap dengan GnRHa protokol panjang. Protokol GnRH antagonis ternyata lebih pendek, lebih sederhana dan jumlah ampul gonadotropin yang dipakai lebih sedikit. Kemampuan untuk mencegah lonjakan LH premature, dan kemampuan menekan terjadinya hiperstimulasi, sama antara kedua protokol ini.. Tetapi terdapat perbedaan antara jumlah oosit yang didapat dan angka kehamilan yang dihasilkannya. GnRH antagonis protokol tetap, menghasilkan jumlah oosit dan angka kehamilan yang lebih rendah, dibandingkan dengan GnRHa protokol panjang. Apakah kekurangan protokol tetap GnRH antagonis ini bisa diatasi dengan menyesuaikan protokolnya dengan karakteristik setiap individu, masih perlu diteliti lebih lanjut.


B. Pemberian gonadotropin.

Terdapat beberapa macam gonadotropin yang dapat digunakan untuk stimulasi ovulasi. Pada saat awal diperkenalkannya program fertilisasi in vitro dan embrio transfer (FIV-ET) sampai beberapa tahun kemudian gonadotropin yang digunakan adalah human menopausal gonadotropin (hMG). hMG ini disarikan dari urine dan setiap ampul hMG mengandung 75 IU FSH dan 75 IU LH. Pada awalnya LH disini dipikirkan untuk merangsang sel teka agar memproduksi androgen sebagai bahan dasar estrogen yang sintesanya dipicu dan dipacu oleh FSH. Sehingga terdapat dugaan bahwa untuk pertumbuhan folikel pada fase folikuler, diperlukan keberadaan LH. Tetapi pada sisi lain terdapat kenyataan klinik bahwa kalau kadar LH sudah tinggi dari awal siklus juga akan mengganggu pertumbuhan folikel. Maka muncul hipotesa bahwa ada batas kadar LH tertentu, yang diperlukan pada setiap fase pertumbuhan folikel (The LH “ceiling hypothesis”). Akhir akhir ini hipotesa tersebut mulai diragukan kebenarannya berdasarkan adanya kenyataan klinik dan beberapa penelitian. Pendapat baru, menduga bahwa LH tidak diperlukan untuk pertumbuhan folikel, LH hanya berperan pada akhir fase folikuler (lonjakan LH) untuk menyempurnakan maturasi folikel dan menjaga kwalitas oosit. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa akhir akhir ini banyak diusahakan untuk menghasilkan FSH murni. “Purified” FSH (pFSH) merupakan hasil awal memurnikan FSH dengan bahan dasar urine sama halnya seperti hMG. Kemudian pada perkembangan pemurnian lebih lanjut muncul FSH-HP (FSH highly purified) tetapi masih tetap dari bahan dasar urine. Perkembangan terakhir telah dihasilkan recombinant FSH (rhFSH) yang dihasilkan secara in vitro dengan teknik recombionant DNA, bukan dari urine, sehingga benar benar murni terbebas dari kontaminasi LH maupun protein lainnya.

Pemberian gonadotropin ini pada umumnya dimulai pada hari ke 2-3 siklus haid sebelum terbentuk folikel dominan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan lebih dari satu/banyak folikel yang masak. Pemberiannya secara titrasi dimulai dengan dosis rendah, bila saat monitoring dirasa pertumbuhannya kurang memuaskan, maka secara perlahan dosis dinaikkan. Gonadotropin diberikan sampai dengan folikel dikatakan / ditentukan sudah masak (berdasarkan penampang folikel dan serum estradiol).

Daya (2002) secara meta analisa membandingkan hasil stimulasi ovulasi dengan urine FSH (uFSH) dan rhFSH. Stimulasi dengan rhFSH memberikan angka kehamilan per siklus lebih tinggi dibanding dengan yang memakai uFSH. Selain itu disimpulkan pula bahwa jumlah ampul yang digunakan rhFSH lebih sedikit dibanding dengan uFSH.

Protokol pemberian gonadotropin ini (stimulasi ovulasi) banyak jenisnya, tergantung dari siklus ovulasi wanita (ovulasi normal, oligo ovulasi ataupun anovulasi) dan juga tergantung dari pengalaman pusat pelayanan itu sendiri dengan berbagai alasan.

C. Monitoring.

Monitoring pertumbuhan folikel, dikerjakan dengan transvaginal sonografi (TVS) untuk mengukur penampang folikel dan dibantu dengan pemeriksaan kadar serum estradiol secara beruntun. Selain untuk mengetahui apakah folikel sudah masak/matur, monitoring folikel ini juga untuk mengetahui respon folikel/dosis gonadotropin yang diberikan. Bila respon folikel dirasa belum memadai dosis gonadotropin bisa dinaikkan secara perlahan (titrasi). Pada umumnya folikel dikatakan masak bila penampangnya diatas 18 mm atau kadar estradiol kurang lebih 200 pg/ml per folikel yang penampangnya diatas 14 mm atau lebih (sebaiknya total estradiol dari seluruh folikel tidak lebih dari 3000 pg/ml). Pengalaman setempat sangat diperlukan untuk monitoring pertumbuhan folikel ini. Variasi antar pemeriksa, alat dan laboratorium cukup lebar. Respon ovarium terhadap stimulasi ovulasi ini dipengaruhi beberapa faktor salah satunya adalah faktor umur. Umur yang semakin lanjut, terutama yang sudah mendekati 40 tahun, ovariumnya sudah kurang peka terhadap stimulasi gonadotropin, sehingga memerlukan jumlah ampul yang lebih banyak. Pengukuran FSH basal (hari ke 3-4 siklus haid) merupakan usaha untuk meramalkan respon ovarium terhadap rangsangan gonadotropin nantinya. FSH basal yang meningkat merupakan petanda bahwa ovarium kurang peka terhadap gonadotropin, dan hal ini perlu didiskusikan dengan penderita sebelum program FIV-ET dimulai. Pemeriksaan TVS selain mengukur penampang folikel perlu diukur pula tebal dan kwalitas endometrium. Pada wanita yang pada saat folikel masak, sesaat sebelum diberi hCG, mempunyai tebal endometrium 8 mm atau lebih dengan gambaran trilaminar akan memberikan angka kehamilan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan yang mempunyai tebal 6 mm atau kurang dengan gambaran homogen.

Bila folikel sudah cukup masak (baik dengan TVS maupun kadar estradiol) maka diberikan hCG 5000 – 10.000 IU. Pemberian hCG ini dimaksudkan untuk menyempurnakan proses pemasakan folikel. Jarak waktu dari pemberian hCG sampai pengambilan oosit pada umumnya berkisar antara 34-36 jam.
Hiperstimulasi merupakan komplikasi yang mungkin timbul pada stimulasi ovulasi. Salah satu usaha untuk menghindari komplikasi hiperstimulasi ini adalah dengan memberikan gonadotropin dosis rendah, terutama untuk wanita dengan SOPK. Stimulasi ovulasi kasus SOPK dengan FSH murni tidak akan mengurangi resiko untuk terjadinya hiperstimulasi ini.

D. Penunjang Fase Luteal.

Pasca transfer embrio pada umumnya diberikan penunjang fase luteal meskipun hal ini tidak semua sarjana sependapat akan kegunaannya. Terdapat dua macam obat yang digunakan untuk menunjang fase luteal pada program FIV-ET, yaitu progesterone alami atau hCG. Progesteron dapat diberikan melewati vagina (supositoria), oral ataupun suntikan intra muskulus (im). Keuntungan pemberian progesterone disini adalah dapat menghindari untuk terjadinya hiperstimulasi yang sudah ada, menjadi lebih berat. Penunjang fase luteal dengan hCG diberikan 1500 IU setiap 3 hari selama 4 kali. Pemberian hCG ini dapat memperberat hiperstimulasi. Diagnosis adanya kehamilan dapat mulai diketahui dengan pemeriksaan serum hCG (kwantitatif) beruntun mulai hari ke 12 pasca transfer embrio. Pemeriksaan hCG beruntun selang 3 hari dapat dipakai untuk meramalkan prognosis kehamilan yang terjadi. Kenaikan hCG yang berlipat dua menunjukkan adanya prognosis yang baik. Diagnosis dan prognosis kehamilan dapat pula diketahui dengan TVS. Detak jantung janin yang mulai dapat dideteksi pada 5 minggu pasca transfer embrio merupakan petanda adanya prognosis kehamilan yang baik.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa banyak macam protokol stimulasi yang dipakai pada pusat pelayanan bayi tabung. Setiap protokol mempunyai kelebihan dan kekurangannya, masing masing. Protokol yang berbeda beda ini akan mudah dipahami/ dinilai bila dikembalikan lagi pada dasar dasar fisiologi terjadinya ovulasi.

INDUKSI OVULASI PADA KEADAAN HIPOESTROGEN.

Sebelum memulai induksi ovulasi , penyebab hipoestrogen harus di evaluasi terlebih dahulu . Dilakukan anamnese menyeluruh terhadap nutrisi khususnya ‘eating .disorder’, anorexia nervosa, bulimia, jumlah aktivitas fisik perminggu, serta pemeriksaan densitas tulang.

Salah satu pilihan adalah memberikan Gonadotropin eksogen. Respon yang didapat sangat bervariasi.
Beberapa sensitive terhadap Gonadotropin dosis rendah (75IU) beberapa memerlukan dosis tinggi (450IU, selama > 14 hari).
Monitoring dengan TVS dan E2 tetap dilakukan.
Resiko hiperstimulasi lebih rendah dibandingkan kelompok PCO.
Resiko kehamilan multiple berkaitan dengan jumlah folikel intermediate (15-17mm) saat pemberian HCG.
Suport luteal diberikan progesterone saja atau dikombinasi dengan HCG dosis rendah.
Pilihan lain adalah dengan GnRHa, yang diberikan secara pulsatil dengan pompa portable.


RINGKASAN.

Terdapat sejumlah pilihan pada induksi ovulasi pada keadaan anovulasi atau PCOS. Penanganan terbaik adalah kasus per kasus, tetapi klomifen sitrat merupakan pilihan pertama.
Pada keadaan resisten klomifen sitrat terapi kombinasi sering berhasil menuju ke kehamilan.
Pada kasus yang tidak berrespon terhadap dosis maksimal klomifen sitrat , tidak hamil sekalipun berovulasi, atau gejala efek antagonis estrogen, maka pilihan berikutnya adalah gonadotropin.
Beberapa kasus dengan PCO hanya berrespon terhadap Gonadotropin dengan resiko kehamilan multiple dan OHSS yang lebih tinggi.
Pada anovulasi dan amenore hipothalamik pilihan induksi ovulasi lebih terbatas. Fase luteal harus disuport. Hipothalamus tidak dapat mensuport korpus luteum dan kehamilan dini.
.


































DAFTAR KEPUSTAKAAN.

Speroff Leon, Glass Robert H.,Kase Nathan G. (1999), Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Ed.VIth, Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins. p.159-200, 201-246, 1097-1132, 1133-1148.

Lynda Jw. Ovulation induction. In : Clinical Obstetrics and Gynecology. Lippincott William Wilkins. Vol 43, No 4, p 902-915, 2000.

Kaylen M Silverberg. Evaluation of the couple wih infertility in a managed care environment. In : Clinical Obstetrics and Gynecology. Lippincott William Wilkins. Vol 43, No 4, p 844-853, 2000.

John T Queenam, Gail whinan. An apreciation of Modern ART. In : Clinical Obstetrics and Gynecology. Lippincott William Wilkins. Vol 43, No 4, p 942-957, 2000.

Kamini A. Rao. Anovulation. In : Reprod. Endocrinology. A Clinical approach. 2nd ed. Jaypee Brothers med publish. 161-165.

Bathena RK. Superovulation strategies in Assisted Conception. In: The Infertility manual. Jaypee Br. 1st ed. 2001. p 273-279.

Biraj Kalyan. Monitoring of ovulation Induction. In: The Infertility manual. Jaypee Br. 1st ed. 2001. p 281-289.

Samsulhadi. Stimulasi ovulasi. Disampaikan pada Kongres I Indonesia society of reproducttive technology. Thr Grand Bali Beach, 3-4 Oktober 2003. Denpasar, Bali.

Juan Balasch. Inducing follicular development in anovulatory patients and normally ovulating women : current concept and the role of rec. Gonadotropin. In: Text book of ART. 2001. Martin Dunitz. P 435-436.

Ludwig M. Gonadotropin regimen in treatment of an ovulation. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. p23.

Olivennes F. Minimal ovarian stimulation. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P37.

Zeleznik AJ. Pathophysiology of follicle recruitment and selection. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P19.

Zeleznik AJ.Physiological Aspects. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P31.

Leo DV, Morgante G. Use of insulin sensitizing agents in ovulation induction. . Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P24.
Salim Daya, Joanne Gunby. Recombinant versus urinary follicle stimulating hormone for ovarian stimulation in assisted reproduction. Human Reproduction 1999;14:2207-2215.

Costello MF, Eden JA. A systematic review of the reproductive system effects of metformin in patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2003;79:1-13.

Meniru G, Tsirigotis M. Controlled superovulation for intrauterine insemination. In: A Hand book of Intra Uterine Insemination.Cambridge University press 1997, p 77-96.

Sabtu, 12 Juli 2008

KONSULTASI KESEHATAN REPRODUKSI

CEMAS KARENA KEPALA TIDAK MASUK PANGGUL
Saya ibu F M ,28 tahun saat ini sedang hamil yang ke 3 perkiraan persalinannya 2 minggu lagi dok, saya sangat cemas, oleh karena dokter saya bilang kepala belum masuk rongga panggul, tolong jawab dok apakah harus dioperasi?

Nyonya FM di GIANYAR
Jawab
Nyonya FM yang lagi cemas, belum masuknya kepala(pada presentasi kepala) ke rongga panggul usia kehamilan lebih dari 36 minggu pada kehamilan pertama memang bermasalah karena secara normal kepala harus sudah masuk pintu panggul sehingga perlu dicari penyebabnya, bisa berasal dari faktor janin, panggul, atau plasentanya.Tetapi kalau ini kehamilan yang ke 3 ibu ngak usah cemas karena pada kehamilan yang ke 2 dan seterusnya kepala janin akan masuk ke pintu panggul pada saat terjadi kontraksi rahim sehingga tidak harus di operasi, dengan catatan tidak ada kelainan lain pada pemeriksaan rutin. Supaya ibu tidak cemas berkepanjangan sebaiknya konsultasikan ulang ke dokter pribadi ibu.
PERTANYAAN

Dokter saya perempuan 27 tahun sudah menikah 5tahun yang lalu sampai saat ini belum mempunyai anak, ada keluhan nyeri setiap menstruasi saya sudah periksa ke dokter kandungan dikatakan diperut saya ada kista ukuran 4 cm, apakah harus di operasi dok? Ganas apa ngak dok, saya takut sekali.

Mar di KLUNGKUNG
Jawab:
Ibu Mar yang ketakutan, kalau bicara tentang kista kita harus bedakan apakah ini tipe ganas atau tipe jinak, melihat data ibu yang sudah menikah 5 tahun tapi belum mempunyai anak disertai keluhan nyeri saat haid kecurigaan saya kearah kista “endometrioma”yang terjadi akibat tumbuhnya jaringan yang menyerupai endometrium(dinding bagian dalam rahim) di indung telur, dengan fungsi yang hampir sama dengan endometrium. Bila haid, jaringan endometrium didalam rahim akan mengelupas dan mengeluarkan darah begitu juga jaringan endometrium yang ada di indung telur akan mengeluarkan darah, akibatnya akan terbentuk kantongan darah di indung telur yang dikenal dengan endometrioma( endometriosis yang terjadi di indung telur). Kista ini tidak ganas, tetapi sangat berpengaruh pada kemandulan yang ibu alami saat ini, karena kista akan menyebabkan penekanan pada indung telur, akibatnya perkembangan sel telur terganggu. Kista ini juga menyebabkan nyeri hebat pada saat menstruasi. Penanganan kista ini bisa dengan cara operasi atau dengan menggunakan obat-obatan yang menekan fungsi hormon. Agar lebih jelas silakan diskusikan dengan dokter kandungan ibu. Semoga ibu tidak takut lagi.

seks dan kehamilan

Kebutuhan akan hubungan seksual pada pasangan yang sudah menikah merupakan kebutuhan batin yang normal. Saat hamil wanita ingin selalu dekat dengan suami, akibat dampak psikologis yang dialami ibu hamil karena pembesaran perut, ibu merasa tidak cantik lagi, takut suami berpaling ke pelukan wanita lain sehingga dekapan, belaian suami, hubungan seksual merupakan obat mujarab untuk mengatasi krisis kepercayaan diri.
Pertanyaan kemudian muncul, bolehkah hubungan seksual dilakukan pada saat pasangan sedang hamil?
Kehamilan bukan merupakan penghalang bagi suami istri untuk melakukan hubungan seksual selama tidak ada masalah pada kehamilan, dan hubungan seksual pada kehamilan dapat dilakukan seperti biasa, oleh karena pada saat hamil mulut rahim mengandung lendir kental yang mencegah pergerakan kuman dari vagina ke janin, kedua didalam rahim janin terlindung oleh selaput ketuban dan air ketuban. Ketakutan akan melukai janin saat melakukan hubungan seksual merupakan pemikiran yang salah. Namun yang perlu diwaspadai adalah hubungan seksual pada kehamilan dini, oleh karena sperma mengandung prostaglandin yang dapat mempengaruhi kontraksi rahim, dan keguguran merupakan masalah yang paling ditakuti pada saat ini.
BAGAIMANA TETAP MENIKMATI HUBUNGAN SEKSUAL
Pada kehamilan lanjut posisi senggama yang normal sulit dilakukan, akibat pembesaran perut,wanita juga merasa kurang nyaman dalam melakukan hubungi seksual sehingga posisi saat senggama perlu disesuaikan sehingga memberi rasa nyaman pada istri.Hubungan seksual pada saat hamil hendaknya dilakukan secara hati-hati dan hanya bersifat rekreatif
BERBAHAYAKAH MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL PADA SAAT HAMIL ?
Hal diatas berlaku bila selama kehamilan tidak ada masalah, namun bila kehamilan berisiko seperti:
Ancaman keguguran atau riwayat keguguran, akan berisiko terjadi keguguran berulang
Plasenta letak rendah (ari-ari tertanam di segmen bawah rahim), khawatir terjadi perdarahan hebat saat hubungan seksual
Riwayat kelahiran prematur, ini juga mengancam terjadinya persalinan sebelum waktunya.
Keluar cairan ketuban, bila ketuban sudah keluar berarti selaput ketuban yang berfungsi sebagai pelindung janin dari kuman yang ada di daerah vagina robek, akibatnya hubungan seksual akan mengantarkan kuman di vagina ke dalam rahim melalui sel-sel sperma, risikonya dapat menyebabkan infeksi pada janin
Penyakit hubungan seksual (PHS),seperti: GO, siphilis, HIV/Aids, dll.Suami atau istri yang sedang hamil atau tidak hamil bila menderita penyakit ini sebaiknya tidak melakukan hubungan seksual, sampai benar-benar sembuh berdasakan penilaian dan pemeriksaan dokter yang ahli dalam bidangnya.Bila hubungan seksual tidak dapat di hindari sebaiknya menggunakan kondom. Dampak yang paling ditakuti bukan saja penularan ke janin, namun penularan ke pasangan juga.

Selasa, 08 Juli 2008

tari bali di pura oeba kupang,nttt


ratih dkk lagi beraksi

kenangan singkat di kupang


foto bersama direktur ,wadir, and temen-temenWZ johannes kupang

bergabung yuk di blogku. kita tukaran informasi tentang agenda pogi terbaru.trims...!