Senin, 04 Agustus 2008

cuci vagina perlukah?

Maraknya Bisnis Perawatan Organ Intim Perempuan: Komersialisasi Mitos Seks Peret
Oleh: Iwu Dwisetyani Utomo
Akhir-akhir ini bisnis perawatan organ intim perempuan marak tersedia, terutama di kota-kota besar. Perawatan khusus atau praktik-praktik yang dilakukan untuk vagina, baik itu perawatan yang dikatakan traditional ataupun modern dengan teknik-teknik mutakhir kedokteraan, tiba-tiba sangat marak tersedia di tempat praktik-praktik traditional, salon-salon kecantikan, spa, bahkan klinik-klinik praktek dokter spesialis. Mengapa perawatan dan praktik-praktik yang dilakukan untuk vagina berkembang cukup pesat dalam beberapa tahun belakangan ini? Apa saja bentuk-bentuk perawatan atau praktik-praktik vagina yang dilakukan oleh perempuan? Baikkah perawatan-perawatan dan praktik-praktik vagina tersebut untuk kesehatan? Adakah konstruksi sosial gender yang mendasari perawatan dan praktik-praktik tersebut? Bagaimana dunia bisnis memanfaatkan konstruksi sosial dalam dunia pervaginaan? Perawatan atau praktik-praktik organ intim perempuan dalam tulisan ini disebut dengan terminologi praktik-praktik vagina (vaginal practices). Praktik-praktik vagina di Indonesia dapat didefinisikan sebagai segala macam bentuk usaha yang dilakukan oleh perempuan dalam upaya untuk membuat vagina mereka menjadi peret, sempit, kering, dan tidak becek. Bukti-bukti Penelitian Praktik-praktik Vagina di Beberapa NegaraPenelitian-penelitian tentang praktik-praktik vagina umumnya dilakukan di beberapa negara di Afrika, di mana praktik-praktik ini banyak dilakukan seperti juga halnya dengan female genital mutilation (FGM). Penelitian di Cote d’Ivoire melaporkan bahwa penggunaan bahan-bahan untuk mengeringkan vagina kemungkinan besar dapat menyebabkan meningkatnya insiden penyakit-penyakit kelamin dan infeksi tetapi tidak menyebabkan keadaan flora vagina terganggu (La Ruche et al. 1999). Penelitian yang dilakukan di Zaire melaporkan bahwa penggunaan daun-daunan, bubuk batu-batuan, bahan-bahan kimia seperti bedak, Vicks, alum, dan obat-obatan vagina serta kain yang dimasukkan dalam vagina dapat menimbulkan rasa sakit yang meningkat dan kemungkinan infeksi karena terjadinya gesekan-gesekan pada vagina yang dapat menyebabkan luka (Brown et al. 1993, 1992). Penelitian lain yang dilakukan di Zaire (Irwin et al. 1993, 1991) terhadap penggunaan bedak, ekstrak tumbuhan seperti akar jahe, daun-daunan, kacang cola, dan serbuk peluru menemukan bahwa kemungkinan bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan iritasi dan menutupi simtom-simtom sexually transmitted disease (STDs) yang merupakan faktor yang dapat menyebabkan penularan HIV. Di Zambia, Sadala et al. (1995) menemukan bahwa penggunaan bahan-bahan untuk mengeringkan vagina dapat menyebabkan pembengkakan dan terkelupasnya vagina, terutama bila bahan-bahan yang dimasukkan dalam vagina adalah daun-daunan dan kain. Hal terbaru yang ditemukan oleh Van de Wijgert et al. (2000) di Zambia adalah bahwa penggunaaan bahan-bahan untuk mengeringkan vagina dapat meningkatkan kerusakan pada flora vagina. Sedangkan Civic dan Wilson (1998) melaporkan bahwa efek samping yang mungkin timbul adalah terjadinya goresan dan pembengkakan pada vagina. Dari hasil penelitian di Amerika ditemukan bahwa perempuan Afrika-Amerika lebih banyak yang mempraktekkan seks kering (16%) dibandingkan dengan perempuan kulit putih (6%). Dampaknya perempuan Afrika-Amerika yang mempraktikkan seks kering lebih banyak menderita STDs (Foxman et al., 1998). Penelitian lain yang dilakukan di Amerika mengungkapkan bahwa lebih dari 20 juta perempuan Amerika melakukan douching secara rutin. Sekitar 37% perempuan Amerika yang berusia 15-44 tahun melakukan douching secara teratur. Separuh dari perempuan yang melakukan douching, melakukannya secara teratur seminggu sekali. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan di Amerika, diketahui bahwa perempuan yang secara rutin melakukan douching cenderung mempunyai lebih banyak masalah yang berhubungan dengan kesehatan vaginanya dibandingkan dengan perempuan yang tidak pernah melakukannya atau mereka yang melakukan douching tetapi tidak melakukannya secara rutin. Masalah-masalah yang dapat ditimbulkan karena douching adalah iritasi vagina, infeksi vagina (bacterial vaginais) dan STDs. Perempuan yang sering melakukan douching juga lebih rentan terhadap resiko kena penyakit pelvic inflammatory dan bila penyakit itu tidak diobati dapat menyebabkan kemandulan dan kehamilan ektopic (ectopic pregnancy), infeksi pada bayi, masalah yang berhubungan dengan proses kelahiran dan kelahiran bayi sebelum waktunya (The National Women’s Information Centre 2002). Dalam website The National Women’s Information Centre, sebuah organisasi yang sangat gencar mempromosikan kesehatan perempuan, dikatakan bahwa secara medis sudah terbukti bahwa vagina mempunyai mekanisme untuk menjaga keseimbangan keadaan kimiawinya yang dapat membersihkan secara alamiah. Oleh karena itu, yang terbaik adalah membiarkan vagina untuk melakukan pembersihan alamiah dengan mengeluarkan sekresi-sekresi lendir. Dengan demikian vagina tidak memerlukan perawatan khusus dengan menggunakan berbagai produk khusus vagina yang diperdagangkan secara komersial. Cara untuk menjaga kebersihan vagina yang disarankan oleh para genekolog dan Food and Drug Administration America adalah dengan menggunakan air hangat dan sabun lembut tanpa pewangi pada waktu akan mandi untuk membersihkan vagina bagian luar. Ahli-ahli kesehatan di Amerika sangat tidak menyarankan dilakukannya douching untuk membersihkan vagina karena dapat mengganggu bahkan merusak keadaan flora vagina yang dapat memungkinkan perempuan lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan bahkan dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang ada dalam vagina atau cervic masuk lebih dalam ke uterus fallopian tubes dan indung telur (The National Women’s Health Information Centre 2002). Di Indonesia, penelitian tentang hal ini masih sangat terbatas. Penelitian pertama dilakukan oleh Joesoef dkk. (1996 ) di Surabaya dengan melakukan penelitian dan test pathology pada ibu-ibu hamil. Dalam penelitian tersebut ibu-ibu hamil yang diteliti mencuci vagina mereka dengan air saja, atau air dan sabun, cairan Betadine, dan larutan sirih. Hanya sebagian ibu-ibu yang diteliti telah memasukkan cairan Betadine atau larutan sirih ke dalam vagina. Dalam penelitiannya Joesoef dkk. menemukan bahwa bila melakukan pembersihan vagina dengan bahan-bahan tersebut, kecuali ibu-ibu yang menggunakan air saja, maka kemungkinan terkena STDs akan meningkat bila pembersihan vagina tersebut dilakukan sebelum melakukan hubungan seks. Asumsinya, bahan-bahan yang digunakan untuk cebok dapat memfasilitasi tumbuhnya bakteri pathogen dengan membunuh keadaan flora vagina yang alamiah. Mulai pada tahun 2000, penelitian-penelitian yang berhubungan dengan seks kering dan praktik-praktik vagina dipelopori oleh seorang peneliti senior dari Australian National University, Prof. Terence Hull. Pada tahun 2002, Prof. Hull mensponsori Esthi Hudiono melakukan penelitian tentang hal ini di Surabaya di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan pekerja seks komersial. Pada tahun yang sama juga dilakukan penelitian oleh Agoes Azwar di Sumatera Selatan tentang penggunaan jamu-jamuan yang berhubungan dengan seksualitas pada ibu-ibu, juga bapak-bapak. Berkat Prof. Hull penelitian dalam bidang ini di Indonesia dan Thailand dapat berkembang pesat atas dukungan dana dari Ford Foundation Jakarta melalui Dr. Meiwita Budhiarsana, World Health Organisation dan Australian Research Council. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan di Indonesia ditemukan bahwa mitos tentang vagina yang peret, kering, dan rapat sangat membekas di kalangan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Vagina yang peret, kering, dan rapatlah yang dapat memberikan kepuasan seksual pada laki-laki. Mitos-mitos tersebut mulai diperkenalkan pada perempuan pada waktu memasuki persiapan pernikahan. Setelah menikah, kebiasaan-kebiasaan baik minum jamu atau praktik-praktik vagina lainnya mulai lebih banyak lagi dilakukan. Usaha-usaha ini semakin getol dilakukan oleh ibu-ibu, terutama bila mereka menganut aliran kuat bahwa isteri-isteri harus memberikan pengabdian dan pelayanan yang optimal pada suami, takut kalau suami mempunyai hubungan ekstra marital atau mempunyai isteri simpanan, takut kalau kehilangan suami karena kalau suami berpaling pada perempuan lain maka ia akan kehilangan sumber kehidupan. Praktik-praktik vagina juga dilakukan oleh perempuan bila mereka mempunyai masalah keputihan. Suami sering kali mengeluh tentang keadaan vaginannya yang “becek” atau suami sering mengeluhkan keadaan vagina yang mulai “longgar” dan kurang rapat. Dari penelitian-penelitian yang telah dikemukakan di atas, yang umumnya dilakukan di negara lain, dapat disimpulkan bahwa praktik-praktik vagina dapat membahayakan kesehatan perempuan. Perempuan yang melakukannya dapat lebih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi vagina, STDs, dan HIV/AIDS. Tetapi sangat disayangkan bahwa penelitian-penelitian laboratories tentang praktik-praktik vagina yang dilakukan di Indonesia seperti gurah vagina dan praktik-praktik lainnya serta penggunaan Tongkat Madura belum pernah dilakukan sehingga penulis tidak dapat mengambil kesimpulan tentang bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan perempuan. Namun, dapat ditarik asumsi karena berbagai penelitian medis yang telah dilakukan di negara lain menyatakan bahwa praktik-praktik vagina dapat membahayakan kesehatan perempuan terutama kesehatan reproduksi perempuan. Setidak-tidaknya perempuan Indonesia harus mengetahui kemungkinan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari praktik-praktik tersebut. Sayangnya, pemerintah juga tidak berupaya untuk melakukan sosialisasi tentang masalah ini dan membiarkan bisnis perawatan organ intim perempuan menjamur dan berkembang di Indonesia. Selain itu, bila diperhatikan secara seksama banyak jamu-jamu yang dijual, walaupun sudah mencantumkan nomor lengkap izin Departemen Kesehatan (Depkes), sering kali tidak membubuhkan tanggal kadarluasa. Perlu diketahui, bila produk-produk jamu sudah membubuhkan izin Depkes, tidak berarti bahwa jamu tersebut sudah diteliti secara laboratories. Sehingga dampaknya bagi kesehatan pengguna juga belum diketahui secara mendalam. Pembubuhan nomor Depkes hanya berarti bahwa jamu tersebut sudah terdaftar di Depkes. Berbagai cara perawatan vagina yang dilakukan di IndonesiaUpaya-upaya yang dilakukan oleh perempuan dalam hal ini dapat berupa pencucian vagina (cebok) dengan air, dengan menggunakan larutan daun sirih, dengan berbagai jenis pembersih vagina siap pakai, minum jamu-jamuan, dan memasukkan Tongkat Madura dalam vagina, perawatan kecantikan dan keharuman vagina dengan V-spa dan Kendedes, gurah vagina dan operasi vagina. Mencuci Vagina dengan Larutan Sirih Ekstrak dan Sabun Khusus VaginaPerawatan yang paling umum dilakukan oleh perempuan Indonesia adalah cebok. Variasi dari cebok yang hanya menggunakan air saja, juga dilakukan dengan menggunakan air sirih atau dikombinasikan dengan berbagai produk vagina siap pakai yang berupa cairan air sirih dengan berbagai merk, sabun vagina, dan tissue basah yang menggunakan sirih ekstrak. Selain itu, tersedia krim pemutih kulit untuk daerah selangkangan, contohnya Wish whitening cream yang dapat digunakan untuk memutihkan selangkangan hitam (disingkat dengan Selangit). Minum Jamu-jamuan untuk Membuat Vagina Peret, Sempit, dan Tidak LongarAda beberapa jamu yang bertujuan untuk membuat vagina lebih peret. Jamu-jamuan ini sering dikenal dengan sebutan jamu Sari Rapet, Rapet Wangi, Asrirapat, Jamu Empot-empot ayam, dan Tongkat Madura. Juga tersedia jamu-jamuan untuk menyembuhkan keputihan seperti Siputih dan lain-lainnya. Walaupun kita tidak mengetahui berapa banyak perempuan Indonesia yang mengkonsumsi jamu-jamuan ini dan apakah jamu-jamuan ini benar-benar dapat membuat vagina menjadi lebih peret dan kencang, salah satu indikasi bahwa banyak demand untuk jamu-jamuan semacam ini adalah tersedianya berbagai macam merk jamu yang memproduksi jamu-jamu ini. Selain jamu-jamu sari rapet, jamu yang lebih banyak digunakan oleh perempuan adalah jamu kunir asam atau jamu kunir asam yang dicampur dengan air daun sirih. V-spa (Vagina Spa) dan KendedesV-spa adalah serangkaian treatment yang dilakukan perempuan untuk perawatan organ intim. Perawatan organ intim ini dimulai dengan mandi dan olahraga (Kegel), minum ramuan herbal, aroma terapi, total body massage, pengompresan vagina dengan menggunakan kompres herbal hangat yang dimasukkan dalam kantong besar dan diletakkan di daerah atas vagina, dan perawatan ini diakhiri dengan vagina fogging (pengasapan). Pengasapan vagina dilakukan dengan duduk di atas kursi yang tengahnya berlubang dan di bawahnya diletakan anglo tempat areng bakar dan ratus sehingga aroma ratus dapat langsung masuk ke vagina. Perawatan vagina yang dinamakan Kendedes yang cukup populer saat ini serupa dengan V-spa, tetapi lebih singkat. Klien yang akan melakukan perawatan dipijat, kemudian dilakukan luluran atau body scrub, mandi berendam dengan rempah-rempah, dan terakhir pengasapan vagina seperti halnya vagina fogging. Kedua macam perawatan vagina ini dapat diperoleh di salon-salon kecantikan atau di tempat beauty spa yang sekarang marak terdapat di kota-kota besar. Teknik-teknik Gurah VaginaBerbeda dengan cara perawatan yang telah disebutkan di atas—perawatan atau pembersihan vagina hanya dilakukan di bagian luar, kecuali bila menggunakan Tongkat Madura—gurah vagina adalah pengobatan yang dilakukan dengan pembersihan bagian dalam liang vagina. Ada beberapa cara gurah vagina. Pertama, gurah yang dilakukan oleh seorang ‘ahli’ pengobatan tradisional yang dilakukan dengan memasukkan ramuan-ramuan tradisional yang dirahasiakan resepnya ke dalam vagina yang akan dikeluarkan setelah beberapa saat. Sudah selayaknya dalam praktik ini masalah kebersihan dan kesehatan perlu dipertanyakan. Biaya yang dikenakan untuk perawatan ini dapat berkisar antara Rp 250-800 ribu, tergantung dari keadaan sosial ekonomi pengguna jasa tersebut. Kedua, gurah yang dilakukan oleh ahli-ahli kecantikan di salon atau oleh dokter spesialis kandungan atau bidan di tempat praktek mereka. Di salah satu salon di Jakarta misalnya, ditawarkan terapi gurah vagina Tiongkok Kuno dengan biaya Rp 600 ribu rupiah per treatment. Lama perawatan tersebut kira-kira 20 menit. Walaupun pemilik salon tersebut berpraktek di Jakarta, namun ia sering keliling ke Surabaya, Semarang, Pekanbaru, dan Batam untuk memberikan pelayanan kecantikan alternatif dan gurah vagina. Pembersihan bagian dalam vagina juga dapat dilakukan oleh dokter ahli kandungan atau bidan, tentunya kompetensi ahli-ahli medis ini tidak perlu diragukan. Namun, dewasa ini muncul terapi “Ozonisasi Vagina” yang dilakukan oleh dokter. Prosesnya adalah dengan pembersihan vagina bagian luar dengan menggunakan cairan antiseptik; penyemprotan vagina bagian dalam dengan cairan antiseptik yang dilakukan dengan menggunakan alat penyemprotan khusus sehingga penyemprotan bisa masuk ke dalam liang vagina; kemudian dilakukan penyemprotan dengan menggunakan antibakteri dan antifungus; langkah berikutnya dilakukan penyemprotan deodoran agar vagina berbau harum dan terakhir vagina akan disemprot dengan ozon (uap). Proses penyemproton vagina ini berlangsung sekitar 15 menit (Prodo 2005:89-91). Operasi Kecantikan VaginaOperasi kecantikan vagina dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi laser atau operasi. Dalam hal operasi vagina dengan menggunakan teknologi laser dapat dilakukan untuk memperbaiki labia minora dan labia majora yang ukurannya kurang sesuai, merekonstruksi bagian pubis, menggembalikan struktur vulva dan liang senggama yang sudah tidak elastis akibat usia dan melahirkan, dan untuk mengembalikan selaput dara yang rusak. Dapat juga dilakukan operasi selaput dara dan pengencangan vagina (vagina tightening) dengan melakukan operasi “pelvic floor operation” di mana lapisan vagina diperbaiki lapis demi lapis melalui operasi. Operasi yang terakhir banyak dilakukan oleh ibu-ibu yang sudah banyak melahirkan anak. Mengapa Perempuan Peduli Terhadap Perawatan Vagina: Sebuah Analisa GenderAdalah sebuah mitos yang sangat kental berlaku di masyarakat, baik di kalangan laki-laki maupun perempuan, bahwa vagina yang terlalu becek, banyak lendir, dan basah atau longgar tidak memberi kenikmatan seks yang optimal pada waktu berhubunagn seks, terutama pada laki-laki. Vagina yang peret, sempit dan tidak longgar menjadi mitos yang sangat kuat berlaku di masyarakat kita. Oleh karena itu, sejak mulai menstruasi anak gadis diperkenalkan oleh ibu-ibu mereka atau saudara-saudara perempuan yang lebih tua cara-cara untuk merawat tubuh dan vagina dengan minum jamu kunir asam dan jamu Galian Putri serta menghindari makan buah-buahan yang dapat membuat vagina becek seperti timun, nanas, semangka, dan pisang Ambon. Pada tahap selanjutnya, bila gadis-gadis tersebut akan memasuki pernikahan, untuk menyiapkan hari pernikahannya sering kali banyak disarankan, baik oleh perias penganten, teman dekat, atau keluarga perempuan yang lebih tua, agar gadis tersebut melakukan serangkaian perawatan kecantikan dan tubuh yang tersedia di salon kecantikan dan spa. Paket perawatan untuk calon penganten saat ini juga telah berkembang menjadi bisnis yang marak dengan tersedianya beauty spa treatment bagi calon pengantin perempuan dan laki-laki. Paket perawatan calon pengantin ini umumnya juga dilengkapi dengan pijat asmaragama untuk meningkatkan gairah seksual. Dalam serangkaian perawatan pengantin ini juga dilakukan perawatan pada vagina dan penis. Dalam proses mempersiapkan acara perkawinan dan upaya calon pengantin untuk persiapan memasuki kehidupan baru, informasi tentang pengabdian pada suami, dan servis seksual yang memuaskan pada suami sering kali diberikan. Informasi yang didapat adalah perempuan harus rajin merawat tubuh dan kecantikan dan merawat vaginanya agar tidak mengeluarkan lendir dan bila berhubungan seks dengan suami dapat memberi pelayanan seksual dengan vagina yang peret dan kering. Bila vagina dalam keadaan peret dikatakan bahwa gesekan-gesekan antara vagina dan penis akan optimal sehingga dapat memberikan kepuasan seksual yang maksimal pada laki-laki. Masa sebelum memasuki malam pertama menjadi kekhawatiran yang sangat bila calon pengantin puteri sudah tidak gadis lagi. Norma yang sangat kuat dianut adalah ketika menikah seorang gadis harus masih perawan, sedangkan apakah calon pengantin pria masih perjaka atau tidak, tidak dipermasalahkan. Untuk mengatasi masalah ini, bagi calon pengantin puteri yang mempunyai uang akan pergi ke klinik spesialis untuk operasi selaput dara, namun bagi calon pengantin puteri yang kurang mampu dapat pergi ke ahli pengobatan alternatif dengan melakukan gurah vagina. Di sinilah letak ketimpangan gender, bila perempuan sudah tidak gadis lagi maka hal ini dapat merupakan masalah dalam memasuki jenjang perkawinan tetapi tidak demikian halnya bila calon pengantin pria sudah tidak perjaka lagi (Bennett 2005; Utomo 2003; Situmorang 2001; Utomo dam McDonald 1997). Pesan dan nilai tersebut berjalan seiring dengan nilai-nilai patriarkal yang kental berlaku di Indonesia. Isteri harus mengabdi dan melayani suami sepenuhnya dan menjaga kecantikan, keindahan tubuh, dan memberikan servis seksual yang memuaskan agar suami tidak mempunyai perempuan simpanan atau agar suami tidak terus melirik pada perempuan lain karena suami sudah mendapatkan pelayanan yang sangat memuaskan di rumah. Pada masa perkawinan dan masa reproduksi, banyak ibu-ibu muda yang mulai membiasakan diri untuk melakukan perawatan khusus untuk vaginanya. Misalnya, dengan mencuci vaginanya dengan air sirih baik yang dibuat sendiri atau produk siap pakai. Banyak juga ibu-ibu yang kemudian rajin minum jamu-jamuan seperti Sari Rapat, Rapet Wangi, Jamu Empot-empot ayam atau bahkan menggunakan Tongkat Madura untuk membuat vaginanya menjadi kering dan tidak berlendir. Bila terjadi masalah dalam perkawinan atau bila suami mendadak meninggalkan isteri, maka isteri yang akan mendapat cercaan dari keluarga dan teman-teman. Isteri dianggap tidak pandai mengurus diri dan memberikan servis yang memuaskan sehingga suaminya meninggalkannya. Di sinilah letak ketimpangan gender, perempuanlah yang harus mengabdi pada suami, menservis, dan selalu menjaga agar hubungan perkawinan mereka tetap harmonis. Untuk itu perempuan rela mengorbankan diri dengan meminum jamu atau melakukan berbagai perawatan vagina agar vaginanya bisa menjadi peret dan rapat. Bukankah seharusnya keharmonisan perkawinan dan hubungan seksual harus dijaga dan dipelihara oleh kedua pihak, suami dan isteri? Bukan hanya kewajiban mutlak isteri untuk selalu menjaga keharmonisan rumah tangga serta merawat tubuh dan vaginanya, upaya yang serupa juga seharusnya dilakukan oleh suami karena perkawinan merupakan partnership antara suami dan isteri. Setelah perempuan selesai dengan masa reproduksinya, biasanya semakin banyak keluhan dari suami karena vaginanya sudah menjadi longgar dan tidak sempit lagi. Tentunya hal ini tidak saja berhubungan dengan telah beberapa kalinya perempuan tersebut melahirkan anak, tetapi juga karena unsur bertambahnya usia yang juga dapat mempengaruhi kelenturan vagina. Pada masa ini ibu-ibu dari kelas sosial ekonomi menengah dan atas mengunjungi klinik-klinik spesialis untuk melakukan operasi vagina atau melakukan laser surgey untuk “memperbaiki” dan mempercantik vagina. Bahkan, ada ibu-ibu dari Indonesia yang terbang ke Singapura untuk melakukan operasi vagina. Lagi-lagi perempuan-perempuan yang menjadi repot dan mengesampingkan efek sampingan yang mungkin timbul dan melakukan operasi vagina demi kepuasan suami serta demi menjaga agar suami tidak menengok ke perempuan lain. Sungguh merupakan ironi bahwa perempuan mau melakukan praktik-praktik vagina tanpa memikirkan efek samping yang mungkin terjadi karena praktik-praktik tersebut. Selain itu, dalam hal ini perempuan sangat berani mengambil resiko terhadap kesehatan tubuhnya demi memuaskan suami dan agar suami tidak mempunyai hubungan seksual di luar rumah. Bagaimana Dunia Bisnis Memanfaatkan Konstruksi Sosial Gender dalam Dunia Perawatan Vagina? Mengetahui tentang mitos pengabdian perempuan dan seks kering (dry sex) maka jadilah bisnis yang marak terhadap jasa-jasa perawatan organ intim perempuan dan produksi jamu-jamuan yang berhubungan dengan upaya membuat vagina menjadi lebih rapat, peret, kering, dan tidak longgar. Yang sangat menyedihkan adalah tidak diaturnya pertumbuhan jasa-jasa yang menawarkan dan menjanjikan dapat membuat vagina menjadi peret, rapat, dan wangi, bahkan dapat memulihkan kegadisan seseorang. Penulis tidak khawatir bila praktik-praktik vagina ini dilakukan oleh tenaga medis, tetapi bagaimana dampaknya bila dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan medis yang akan lebih membawa dampak yang negatif terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Pemerintah tidak mempunyai regulasi sama sekali tentang hal ini. Berbagai praktik jasa pervaginaan, baik itu salon kecantikan, praktik traditional, atau klinik kedokteran, semua harus dilengkapi dengan izin dari Depkes dan Kejaksaan Agung. Tetapi dikeluarkannya izin praktek, terutama untuk salon kecantikan dan praktik tradisional, bukan berarti memberi garansi bahwa praktik-praktik pervaginaan yang dilakukan di tempat tersebut dijamin aman bagi kesehatan. Selama mitos tentang vagina yang rapat, kering, peret, dan tidak longgar terus diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya dan konstruksi sosial gender, baik yang diberikan melalui nilai sosial budaya dan nilai misinterpretasi agama tentang bagaimana seorang perempuan seharusnya mengabdi dan melayani suami, terus dilestarikan maka hal ini akan menjadi sasaran empuk dari kalangan dunia usaha yang tentunya dapat merugikan dan, mungkin, membahayakan kesehatan reproduksi perempuan. Di atas telah dikemukakan bahwa berbagai jenis praktik vagina yang mungkin dilakukan oleh perempuan Indonesia, mulai upaya sederhana dengan mencuci vagina dengan air, air ditambah dengan penggunaan cairan rebusan daun sirih yang dibuat sendiri ataupun yang diproduksi oleh perusahaan, air dengan sabun atau pencuci vagina sampai penggunaan jamu-jamuan dan praktik gurah vagina serta operasi vagina. Selain itu, juga telah dibahas bagaimana konstruksi sosial yang telah disosialisasikan dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya bahwa hubungan seksual yang nikmat adalah dengan perempuan yang mempunyai organ intim yang peret, rapat, sempit, dan tidak longgar. Perempuan Indonesia sudah dididik sejak kecil bahwa menjadi perempuan yang baik adalah mengabdikan hidup untuk suami dan anak-anaknya, serta wajib melayani dan memberikan pelayanan pada suaminya termasuk dalam urusan pemuasan kebutuhan seksual suami sehingga banyak perempuan Indonesia yang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan uang serta penderitaan yang dapat ditimbulkan untuk membuat vaginanya menjadi peret, kering dan tidak longgar.(*) ___________________________________Tulisan ini: Penghargaan terhadap Prof. Terence Hull. Penelitian tentang praktik-praktik vagina di Indonesia masih sangat terbatas, saat ini Prof. Terence Hull dari Demography and Sociology Program, Australian National University telah mempelopori penelitian tentang hal ini tidak saja di Indonesia, tetapi juga di Thailand, Afrika Selatan, dan Mozambique. Dana penelitian untuk Indonesia dan Thailand didapatkan dari Ford Foundation, WHO, dan Australian Research Council. Penulis sangat berterima kasih yang tak terhingga pada Prof. Hull yang telah memberi kesempatan emas yang sangat berharga pada penulis untuk terlibat dalam penelitian ini sebagai salah seorang peneliti utama. Di Indonesia, penelitian ini dilakukan dengan bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan (Ninuk Widyantoro-Country Coordinator), Yayasan Mitra Inti (Herna Lestari dan Laily Hanifah), dan Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada (Basilica Dyah Putranti dan Y. Tri Subagya). Penulis sangat berterima kasih pada tim peneliti Indonesia atas kerjasamanya yang baik. Adapun koordinasi keseluruhan penelitian di empat negara ini dipimpin oleh Adriane Martin Hilber dari WHO.Iwu Dwisetyani Utomo adalah Staf Peneliti di National Centre for Epidemiology and Population Health dan pengajar pada Program Pascasarjana di Demography and Sociology Program, Australian National University. Mata kuliah yang diajarkan adalah Social Research Design dan Gender and Population. Bidang minat penelitian tentang kesehatan reproduksi, kesehatan perempuan, gender dan masalah remaja. Korespondensi dapat ditujukan pada Iwu.Utomo@anu.edu.au Daftar Pustaka
Agoes, A. (2002) Use of Traditional Medicines in Women Sex Practice in Palembang and Lubuk Linggau - South Sumatera In Second Research Workshop on Gender and Sexuality.Hotel Atlet, Jakarta, Indonesia.
Bennett, L. R. (2005) Women, Islam, and Modernity: Single women, sexuality and reproductive health in contemporary Indonesia, Routledge Curzon, Taylor & Francis Group, Great Britain.
Brown, J. E., Ayowa, O. B. and Brown, R. C. (1993) Dry and Tight: Sexual Practices and Potential AIDS risk in Zaire Social Science and Medicine, 37, 989-994.
Brown, R. C., Brown, J. E. and Ayowa, O. B. (1992) Vaginal Inflammation in Africa [letter] New England Journal of Medicine, 327, 572.
Civic, D. and Wilson, D. (1996) Dry Sex in Zimbabwe and Implication for Condom Use Social Science and Medicine, 42, 91-98.
Foxman, B., Aral, S. and Holmes, K. (1998) Interrelationships Among Douching Practices, Risky Sexual Practices, and History of Self-Reported Sexually Transmitted Diseases in an Urban Population Sexually Transmitted Diseases, 25, 90-99.
Hudiono, E. S. Dry Sex Among Sex Workers and Low Income Women in Sub-District Krembangan Surabaya (2002) Research School of Social Sciences, Australian National University.
Irwin, K., Betrand, J., Mibandumba, N., Mbuyi, K., Muremeri, C., Mukoka, M., Munkolenkole, K., Nzilambi, N. B., Ryder, R., Peterson, H., Lee, N. C., Wingo, P., O'Reilly, K. and Rufo, K. (1991) Knowledge, Attitudes and Beliefs about HIV infection and AIDS among Health Factory Workers and their Wives Social Science and Medicine, 32, 917-930.
Irwin, K., Mibandumba, N. and Sequeira, D. (1993) More on Vaginal Inflammation in Africa [letter 2] New England Journal of Medicine, 328, 888-889.
Joesoef, M., Sumampouw, H., Linnan, M., Schmid, S., Idajadi, A. and St Louis, M. (1996) Douching and sexually transmitted diseases in pregnant women in Surabaya, Indonesia American Journal of Obstetrics and Gynecology, 174, 115-119.
La Ruche, G., Messou, N., Ali-Napo, L., Noba, V., Faye-Kette, H., Combe, P., Bonard, D., Sylla-Koka, F., Dheha, D., Welffens-Ekra, C., Dosso, M. and Msellati, P. (1999) Vaginal Douching: Association with Lower Genital Tract Infections in African Pregnant Women Sexually Transmitted Diseases, 26, 191-196.
Situmorang, A. (2001) Adolescent reproductive health and premarital sex in Medan, PhD Thesis, Demography Program, Division of Demography and Sociology, Research School of Social Sciences, The Australian National University.
Sandala, L., Lurie, P., Sunkutu, M. R., Chani, E. M., Hudes, E. S. and Hearst, N. (1995) 'Dry sex' and HIV infection among women attending a sexually transmitted disease clinic in Lusaka, Zambia AIDS, 9, S61-S68.
The National Women’s Health Information Centre, Douching, http://www.4woman.gov/faq/douching.htm; Frequently asked questions: http://www.4woman.gov/faq/douching.pdf, acess 27/07/2006.
van de Wijgert, J. H. H. M., Mason, P. R., Gwanzura, L., Mbizvo, M. T., Chirenje, Z. M., Iliff, L., Shiboski, S. and S, P. N. (2000) Intravaginal Practices, Vaginal Flora Disturbances, and Aquisition of Sexually Transmitted Diseases in Zimbabwean Women Journal of Infectious Diseases, 181, 587-594.
Utomo, I.D. (2003) Can being single become a choice for young Indonesians/ Generational Changes, Development Bulletin, Population Changes in Asia and the Pacific, No. 62, Pp. 97-103.
Utomo, I. and Peter McDonald (1997) ‘Middle class young people and their parents in Jakarta: generational differences in sexual attitudes and behaviour’, Journal of Population, Vol.2/no.2, pp. 169-201. Sumber Lainnya
Kompas, Warta Kota, Kartini Magazine, LVR and DLV leaflet 2005, Prodo Magazine 2005, Cosmopolitan, Bazaar, Elle, Marie Claire, Vogue, www.lvradvantange.com