Anantasika
Sub Bagian Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi
Bagian/SMF Obstetri & Ginekologi
FK Univ.Udayana, RS Sanglah
Denpasar.
ABSTRAK.
Disfungsi ovulasi merupakan masalah utama pada sekitar 40% infertilitas wanita. Dengan berkembangnya pemakaian Transvaginal Ultrasonografi maka kejadian kegagalan ovulasi menjadi semakin sering ditemukan pada praktek sehari-hari. Dengan demikian menjadi semakin penting bagi kita adalah bagaimana menangani kasus anovulasi khususnya dikaitkan dengan keinginan untuk hamil.
Klomifen sitrat telah lama dipakai sebagai obat untuk anovulasi. Pada kasus-kasus yang resisten terhadap klomifen sitrat, berbagai preparat dikombinasikan untuk mendapatkan perkembangan folikel yang diharapkan seperti Insulin sensitizer -metformin, deksamethason, injeksi hCG, serta gonadotropin yang akan dibahas dalam makalah ini.
“Controlled Ovarian Hyperstimulation” pada teknik reproduksi dibantu (TRB) bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak oosit sehingga diharapkan akan lebih banyak didapatkan embryo, dan karenanya pemilihan embrio yang bakal ditransfer menjadi lebih leluasa, dan memungkinkan pula untuk melakukan transfer embrio lebih dari satu, 3-4, yang akan meningkatkan kemungkinan menjadi hamil.
Terdapat banyak sekali macam protokol stimulasi, untuk memahaminya diperlukan pengertian dasar tentang fisiologi terjadinya ovulasi. Stimulasi ovulasi dengan Gonadotropin dimulai pada hari ke 2-3 siklus haid ,sebelum terbentuknya folikel dominan.
Pemakaian GnRHa atau GnRH antagonis ditujukan untuk menghindari terjadinya lonjakan premature LH. GnRHa dapat diberikan secara short protocol, dimulai pada hari ke-2 siklus haid, atau long protocol yang dimulai pada hari ke 21 siklus haid sebelumnya. Sedangkan GnRH antagonis dapat diberikan dengan dosis tunggal, 3 mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda setiap hari 0,25 mg mulai hari ke 7 siklus haid sampai saat pemberian hCG - bila penampang folikel sudah mencapai 18 mm atau lebih, atau bila kadar serum estradiol 200 pg/ml untuk setiap folikel yang mempunyai penampang 14 mm atau lebih. Tetapi total seluruh kadar serum estradiol tidak boleh melebihi 3000 pg/ml. Komplikasi stimulasi ovulasi yang perlu diwaspadai adalah adanya sindroma hiperstimulasi ovarium. Fase luteal dapat ditunjang dengan progesterone atau hCG. Pemberian progesterone untuk menunjang fase luteal dapat menghindari komplikasi sindroma ovarium hiperstimulasi yang sudah ada menjadi lebih berat.
PENDAHULUAN.
Disfungsi ovulasi merupakan masalah utama pada sekitar 40% infertilitas wanita. Dengan berkembangnya pemakaian Transvaginal Ultrasonografi maka kejadian kegagalan ovulasi menjadi semakin sering ditemukan pada praktek sehari-hari. Dengan demikian menjadi semakin penting bagi kita adalah bagaimana menangani kasus anovulasi khususnya dikaitkan dengan keinginan untuk hamil.
Siklus ovulatoir panjangnya bervariasi antara 25-35 hari. Sedang siklus anovulatoir bisa lebih pendek atau lebih panjang. Sering kali wanita dengan anovulasi mengalami kurang dari 6 kali menstruasi setahunnya atau oligomenore.
Klomifen sitrat telah lama dipakai sebagai obat untuk anovulasi. Pada kasus-kasus yang resisten terhadap klomifen sitrat, berbagai preparat dikombinasikan untuk mendapatkan perkembangan folikel yang diharapkan seperti Insulin sensitizer -metformin, deksamethason, injeksi hCG, serta gonadotropin yang akan dibahas dalam makalah ini.
“Controlled Ovarian Hyperstimulation” pada teknik reproduksi dibantu (TRB) bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak oosit sehingga diharapkan akan lebih banyak didapatkan embryo, dan karenanya pemilihan embrio yang bakal ditransfer menjadi lebih leluasa, dan memungkinkan pula untuk melakukan transfer embrio lebih dari satu, 3-4, yang akan meningkatkan kemungkinan menjadi hamil.
Sebagai langkah awal stimulasi ovulasi harus dilakukan evaluasi pendahuluan serta dipahami bagaimana ovulasi terjadi.
EVALUASI PENDAHULUAN.
Eksklusi kelainan Hipofise, adrenal, dan Thiroid, yang memerlukan penanganan spesifik.
Mencari penyebab anovulasi melalui pemeriksaan kadar serum puasa :
TSH, FSH, Prolaktin, 17-OH Progesteron, Glukosa, Insulin.
Endometrial Sampling : untuk prolonged anovulasi tanpa progesteron.
Sperma Analisa.
HisteroSalfingoGrafi / Laparoskopi diagnostik.
Penilaian Obesitas.
Suplemen Asam folat 400 mg.
FISIOLOGI OVULASI.
Ovulasi pada siklus alami biasanya hanya menghasilkan satu oosit saja . Hal ini merupakan hasil interaksi yang sangat harmonis antara hipotalamus, hipofisa, ovarium dan interaksi intrafolikuler (autokrin, parakrin).
Hipotalamus – Hipofisa.
Hipotalamus (nukleus arkuatus) menghasilkan gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang disekresi secara pulsatil dengan amplitudo dan frekwensi dalam batas tertentu, yang disebut “critical range”. Sekresi yang keluar dari batas ini akan mengakibatkan gangguan ovulasi. Rangsangan GnRH secara pulsatil akan menghasilkan sekresi gonadotropin (FSH dan LH) secara pulsatil pula.
Pada urutan berikutnya gonadotropin akan merangsang proses folikulogenesis dan steroidogenesis di ovarium, yang berakhir dengan ovulasi (satu oosit) dan terbentuknya korpus luteum yang menghasilkan cukup progesterone. Hubungan hipotalamus, hipofisa dan ovarium ini mempunyai ikatan yang saling mempengaruhi, saling tergantung. Masing masing hormone reproduksi mempunyai kadar yang naik turun /fluktuasi, dengan urutan dan irama yang baku dari waktu kewaktu dalam satu siklus ovulasi/haid seperti suatu orkestrasi dengan harmoni yang sangat baik.
Pulsasi sekresi GnRH dengan amplitudo dan frekwensi dalam batas “critical range” ini dipertahankan melalui tiga mekanisme hubungan :
Umpan balik lengkung panjang.
GnRH merangsang hipofisa untuk menghasilkan gonadotropin, kemudian gonadotropin ini akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan folikel serta sekresi steroid seks (estrogen dan progesterone) oleh ovarium. Kadar serum estrogen dan progesterone yang dihasilkan oleh ovarium ini memberikan umpan balik lengkung panjang kehipotalamus maupun hipofisa. Kadar serum estrogen dan progesterone ikut mengendalikan sekresi GnRH dan gonadotropin.
Umpan balik lengkung pendek.
Gonadotropin yang dihasilkan hipofisa mengendalikan sekresinya sendiri melalui umpan balik lengkung pendek kehipotalamus dan mempengaruhi sekresi GnRH. GnRH yang dihasilkan nucleus arkuatus diangkut lewat traktus tuberoinfundibular kemudian masuk kedalam aliran darah sistem portal, dan sampailah kehipofisa anterior. Aliran darah sistem portal ini sebagian besar memang kearah hipofisa, hanya sebagian kecil saja kearah sebaliknya, kearah hipotalamus. Aliran darah kearah sebaliknya inilah yang diduga digunakan gonadotropin untuk memberikan umpan balik lengkung pendek kehipotalamus.
Umpan balik lengkung sangat pendek.
Hipotalamus / GnRH mengendalikan sekresinya sendiri.
Hubungan umpan balik ini melibatkan beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter utama yang mempunyai peran pada hubungan umpan balik ini adalah dopamine yang bersifat menghambat (negative), dan norepinephrine yang bersifat merangsang (positive). Neurotransmitter lain yang ikut membantu hubungan umpan balik ini antaranya, endorphin, serotonin, melatonin dan sebagainya.
GnRH yang selalu dalam “critical range” akan merangsang hipofisa baik pada pusat penyimpanan maupun pada pusat sekresi. Pada manusia terdapat dua pusat pengendalian kadar serum gonadotrophin, yaitu pusat sekresi dan pusat penyimpanan yang berada dihipofisa. Kedua pusat pengendalian kadar serum gonadotropin ini selain dipengaruhi oleh GnRH juga dipengaruhi oleh hormone steroid seks. Lingkungan steroid seks inilah yang mengendalikan fluktuasi kadar baik serum FSH ataupun serum LH, dari waktu kewaktu selama siklus haid, meskipun tetap dengan rangsangan satu macam GnRH.
Hipotalamus – hipofisa – ovarium (H-H-O).
Terdapat hubungan yang sangat dinamis pada aksis H-H-O sepanjang siklus haid. Urut urutan hubungan aksis H-H-O ini sudah baku untuk menghasilkan siklus ovulasi yang normal. Kelainan pada hubungan aksis H-H-O akan menyebabkan gangguan ovulasi.
A. Awal siklus.
Pada awal siklus dimana kadar hormon estrogen sangat rendah, rangsangan GnRH akan meningkatkan produksi gonadotropin (FSH,LH) yang sebagian besar disimpan dipusat penyimpanan, untuk persiapan nanti menghadapi lonjakan LH dan FSH pada pertengahan siklus. Hanya sebagian kecil FSH dan LH saja yang disekresi kedalam peredaran darah. Kenaikan kadar serum FSH dan LH secara perlahan (tidak meningkat tajam) ini diovarium akan berdampak :
LH akan merangsang sel teka menghasilkan androgen, yang sangat penting sebagai bahan dasar sintesa estrogen.
FSH akan menyebabkan :
Pertumbuhan dari beberapa primordial folikel.
Proliferasi sel granulosa.
Aromatisasi androgen menjadi estrogen di sel granulosa.
Bersama estrogen membentuk reseptor FSH di sel granulosa.
Pada awal siklus terdapat beberapa folikel, yang masing masing folikel mempunyai nilai ambang kepekaan berbeda beda terhadap rangsangan FSH. Pertumbuhan beberapa folikel ini akan menyebabkan kenaikan kadar estrogen. Pada kurang lebih hari 5-7 siklus haid, terjadi penurunan sekresi FSH (tetapi tidak LH), akibat umpan balik negatif kadar serum estrogen yang semakin tinggi (juga inhibin) keotak. Penurunan sekresi FSH ini akan mengakibatkan terhentinya pertumbuhan (atresia) folikel yang kurang peka (mempunyai ambang kepekaan tinggi) terhadap rangsangan FSH. Pada saat itu hanya ada satu folikel, yang paling peka / “siap”, yang tetap bisa bertahan untuk tumbuh, dan disebut sebagai folikel dominan. Selanjutnya folikel dominan ini tetap akan tumbuh meskipun sekresi FSH semakin menurun. Hal ini disebabkan karena rangsangan gonadotropin sebelumnya menyebabkan kepekaan folikel dominan terhadap FSH semakin meningkat Hal ini menyebabkan pada siklus alami hanya terjadi satu ovulasi saja, setiap bulannya.
B. Pertengahan siklus – pre ovulasi.
Pertumbuhan folikel dominan yang semakin besar mengakibatkan kadar estrogen semakin meningkat pula. Pada saat kadar estradiol sama atau lebih dari 200 pg/ml yang bertahan lebih dari 50 jam maka terjadi umpan balik positif terhadap LH. Rangsangan GnRH pada lingkungan kadar estrogen yang tinggi ini akan melepaskan simpanan gonadotropin yang selama ini “ditabung” dipusat penyimpanan untuk dipindahkan kepusat sekresi dan dilepaskan kedarah sehingga terjadilah lonjakan LH.
Lonjakan LH ini berperan :
Menghancurkan Oocyte Maturation Inhibitor (OMI), sehingga miosis /oogenesis yang tadinya terhenti selama fase folikuler (folikulogenesis), berjalan kembali dan saat itu dilepaskanlah badan polar I. Oleh karenanya oosit yang sudah masak ditandai dengan tampaknya badan polar I ini.
Merangsang produksi prostaglandin dari sel granulosa, yang berperan untuk “memecahkan” dinding folikel saat ovulasi.
Menyebabkan terjadinya luteinisasi minimal (tidak maksimal karena masih ada oosit) pada sel teka, maka terjadilah sedikit peningkatan sekresi progesterone. Sedikit peningkatan kadar progesterone ini akan memperkuat umpan balik positif keotak dan terjadilah selain lonjakan LH juga lonjakan FSH. Peningkatan progesterone dan FSH ini mengaktifkan enzim proteolitik untuk membantu “menghancurkan” dinding folikel saat ovulasi. Selain itu FSH pada pertengahan siklus ini bersama estradiol membentuk reseptor LH di sel granulosa. Pertumbuhan folikel yang baik ini sangat penting agar terbentuk korpus luteum yang baik pula nantinya pada fase luteal.
C. Ovulasi dan fase luteal.
Segera setelah oosit meninggalkan folikel maka akan terjadi luteinisasi sempurna sel granulose, yang diikuti dengan lonjakan sekresi progesterone. Kenaikan tajam kadar serum progesterone (dampaknya berbeda dengan sedikit peningkatan) ini akan menekan sekresi gonadotropin, sampai siklus berikutnya. Ovulasi terjadi kurang lebih 36 jam dari saat dimulainya lonjakan LH. Penentuan saat ovulasi ini penting untuk menentukan saat inseminasi atau pengambilan oosit pada proses bayi tabung. Setelah ovulasi terjadi maka akan dilanjutkan masuk kedalam fase luteal. Fase luteal yang baik merupakan hasil dari serangkaian kerja sama antara GnRH, gonadotropin, dan seks steroid yang dihasilkan oleh folikel yang tumbuh dengan baik pula. Fase luteal yang baik akan menghasilkan hormone progesterone yang cukup, yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup buah kehamilan. Kadar progesterone dan juga estrogen berada dipuncaknya pada hari + 7 dari ovulasi, dan bila tidak terjadi kehamilan kadar kedua hormone tersebut akan turun perlahan sampai saat haid siklus berikutnya. Bila terjadi kehamilan kadar progesterone akan tetap bertahan karena adanya rangsangan hCG yang dihasilkan oleh sel trofoblas. Bila dikaji lebih jauh maka hari + 7 ovulasi, saat puncak kadar progesteron terjadi pada siklus normal, bertepatan dengan terjadinya implantasi, tertanamnya buah kehamilan kedalam dinding uterus / endometrium.
STIMULASI OVULASI.
KLOMIFEN SITRAT.
Merupakan preparat yang paling sering digunakan untuk stimulasi ovulasi. Strukturnya memungkinkan berikatan dengan reseptor estrogen, dan mempengaruhi reseptor berminggu-minggu. Ikatan yang lama ini mempengaruhi “replenishment” reseptor estrogen di hipothalamus.
Dengan ikatan klomifen sitrat, hipothalamus tidak dapat mengetahui kadar estrogen endogen dan menganggapnya rendah. Sebagai respon , hipothalamus merubah pulsatilitas GnRH sehingga sekresi gonadotropin hipofise meningkat.
Mekanisme kerja utama klomifen sitrat adalah pada hipothalamus, ada juga bukti yang menunjukkan klomifen sitrat berikatan dengan reseptor estrogen di hipofise, secara langsung merangsang pelepasan gonadotropin.
Kedua mekanisme ini bekerja sinergis, meningkatkan pelepasan FSH dan memungkinkan perkembangan folikel di ovarium.
Klomifen sitrat tidak dapat menginduksi ovulasi pada wanita yang hipoestrogen.
Pada lingkungan yang estrogenic, ovulasi dapat terjadi lebih dari 80%.
Klomifen sitrat dimulai secara empiris pada hari ke lima siklus, baik pada menstruasi spontan maupun setelah pemberian progestin.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemakaian Klomifen sitrat adalah :
- memulai Klomifen sitrat lebih awal ( hari ke 2-4) tidak merubah angka ovulasi, kehamilan, dan abortus.
- Pada kegemukan (>100 kg) , 20% ovulasi terjadi pada dosis awal 50mg, jadi diperlukan dosis awal lebih tinggi.
- Dosis Klomifen sitrat dinaikkan 50 mg sampai maksimum 200-250 mg/hr selama 5 hari. Tabel 1 menunjukkan angka ovulasi dan kehamilan pada penaikkan dosis.
- Pada awalnya ditetapkan dosis Klomifen sitrat dapat dipakai sampai 100 mg, dan hanya untuk 3 kali pemberian ulangan. Dalam praktek klinik rekomendasi ini sering di abaikan, khususnya pada keadaan keadaan dimana pemberian Klomifen sitrat lebih menguntungkan. Oleh karena itu dosis melebihi 100 mg/hari sering dipakai
- 75 % keberhasilan kehamilan terjadi pda tiga siklus ovulatoir yang pertama.
- Adanya ovulasi dapat dideteksi (berdasarkan urutan sensitivitas) dengan USG, urinary LH surge, dan temperatur basal badan.
KARAKTERISTIK SIKLUS KLOMIFEN SITRAT.
Siklus Klomifen sitrat berbeda dengan siklus ovulasi spontan.
- Fase follikuler lebih panjang.
- Diameter folikel saat LH surge lebih besar.
Jika Klomifen sitrat dimulai hari ke 5, LH surge terjadi sekurang-kurangnya 5 hari setelah Klomifen sitrat terakhir (hari-14). Kebanyakan mengalami surge lebih lambat ( hari 15-17), bahkan sampai hari ke 21. Diameter folikel rata-rata 25 mm, dibandingkan dengan 19 mm pada siklus spontan.
Pada siklus Klomifen sitrat yang ovulatoir , perkembangan endometrium sama dengan siklus ovulasi spontan, dengan ketebalan rata-rata sekitar masa ovulasi 11 mm.
Kadar hormon pada siklus Klomifen sitrat.
- Pada siklus Klomifen sitrat ovulatoir, kadar estradiol pada saat terjadi surge adalah 750 pg/ml (225-2750 pg/ml), jauh lebih tinggi daripada siklus spontan (200-300 pg/ml).
- 10 hari setelah LH surge, kadar FSH rata-rata 11 mIU/ml, pada siklus ovulatoir, dibandingkan dengan 8 mIU pada siklus Klomifen sitrat anovulatoir. Perbedaan ini menunjukkan bahwa keberhasilan induksi dengan Klomifen sitrat bergantung pada kesinambungan kemampuan hypothalamus dan hipofise meningkatkan sekresi FSH. Penting diingat nilai ambang FSH yang harus dicapai dan dipertahankan untuk mendapatkan ovulasi.
- Wanita yang resisten terhadap Klomifen sitrat tidak mampu membentuk respon FSH yang adekuat. Mungkin terdapat hormon hormon lain yang merubah pelepasan FSH oleh hypothalamus dan hipofise sebagai respon terhadap Klomifen sitrat , seperti insulin, leptin, atau androgen.
MONITORING SIKLUS.
USG dilakukan 5 hari setelah dosis Klomifen sitrat terakhir. Dilakukan penilaian terhadap jumlah dan ukuran folikel preovulatory, serta grading dan ketebalan endometrium.
Jumlah folikel lebi dari satu dapat terjadi pada sepertiga siklus Klomifen sitrat dengan dosis terrendah.
Sekali dosis ovulatory Klomifen sitrat dapat ditentukan, siklus berikut dengan dosis yang sama tetap mmerlukan monitoring untuk meyakinkan berlanjutnya respon ovulasi.
15% wanita yang pada awalnya berrespon terhadap dosis tertentu, selanjutnya menjadi refrakter, dan memerlukan peningkatan dosis . Respon terhadap dosis dapat berubah sepanjang waktu.
Oleh karena itu dosis terrendah yang dapat menimbulkan ovulasi harus ditentukan, dan selanjutnya dimonitor dengan USG, dosis dinaikkan bila tidak terjadi ovulasi.
Hampir semua kehamilan terjadi pada 6 siklus ovulatoir yang pertama., dan meneruskan therapi Klomifen sitrat melebihi 6 siklus tidak memiliki keuntungan klinis.
EFEK SAMPING.
Terdapat kemungkinan 30% perkembangan multifolikel, tetapi kehamilan pada siklus Klomifen sitrat biasanya tunggal, dengan angka kehamilan ganda 8%.
Pada uji klinis yang melibatkan 7000 wanita dengan ovulasi dan anovulasi, terjadi 2600 kehamilan, insiden kehamilan ganda didapatkan 8%, dengan 7% kembar dua, 0,5% triplet, 0,5% quadruplet, dan 0,1% quintuplet.
Gangguan penglihatan berupa blurring, spot, flashes dapat terjadi serte bertambah sering dengan meningkatnya dosis. Keluhan membaik seminggu setelah dosis terakhir, sehingga bila mengkonsumsi Klomifen sitrat disarankan brhati-hati dalam aktifitas berkendara.
Keluhan lain dapat berupa hot flushes, bloating, nausea dan vomiting, breast tenderness, sakit kepala, spotting intermenstrual, dan menorrhagia. Muncul perasaan penuh/nyeri abdomen karena perkembangan folikel, yang dapat ditangani dengan acetaminofen, pelvic rest, serta memodifikasi aktifitas fisik.
Setelah satu siklus multifolikel, non konsepsi, mungkin terdapat persistensi satu/lebih area hipoechoic di ovarium. Kista ovarium sebagai akibat klomifen sitrat bersifat asimptomatik. Penelitian menunjukkan bahwa kista ovarium yang lebih besar dari 10mm menurunkan kemungkinan kehamilan pada siklus yang memakai gonadotropin sebagai induksi ovulasi.
Tidak ada penelitian tentang efek residual ovarian cyst pada siklus klomifen sitrat. Tapi tampaknya kista yang lebih besar dari 20 mm akan mempengaruhi siklus klomifen sitrat berikutnya.
Sebelum memulai suatu siklus , USG basal dilakukan untuk menentukan apakah terdapat sisa-sisa aktifitas ovarium.
Tindakan stimulasi pada ovarium dengan kista ovarium akan mengakibatkan kista tersebut tidak mengalami resolusi. Masa satu bulan bebas klomifen sitrat akan memungkinkan terjadinya resolusi spontan.
Tidak ada manfaat kontrasepsi oral kombinasi dalam menekan kista ovarium.
Kista ovarium yang bertahan lebih dari 9 minggu kmungkinan bersifat neoplastik, tidak fungsional, yang memerlukan aspirasi/pengangkatan sebelum induksi ovulasi dilanjutkan.
Hubungan antara Ca Ovarium dengan klomifen sitrat tetap controversial. Pasien yang mendapatkan klomifen sitrat harus di KIE akan adanya kemungkinan resiko Ca Ovarium bila tetap tidak terjadi kehamilan.
Hampir semua kehamilan terjadi dalam 3-4 siklus ovultoir, jarang terjadi setelah 6 siklus.
Pemakaian klomifen sitrat melebihi 12 siklus harus dilakukan dengan hati-hati, khususnya pada nullipara.
Pemakai klomifen sitrat yang tidak hamil disarankan memakai ontrasepsi hormonal untuk mencegah Ca Ovarium.
THERAPI TAMBAHAN PADA KLOMIFEN SITRAT.
1. Insulin Sensitizers.
Sekalipun 85-90% therapi klomifen sitrat pada anovulasi yang estrogenic akan menghasilkan ovulasi, hanya 40-50% mencapai kehamilan. Karenanya sejumlah wanita yang refrakter thd klomifen sitrat (disebut CC resistant) akan memerlukan pengobatan tambahan untuk berhasil hamil.
Kelainan endokrin tersering di bidang anovulasi estrogenic adalah Sindroma Ovarii Polikistik.
Resistensi insulin dengan kompensasi hiperinsulinemia dapat merupakan gambaran sindroma ini dan mungkin sebagai penyebab hiperandrogen dan anovulasi kronis.
Rasio glukosa-insulin puasa telah dievaluasi sebagai marker resistensi insulin.
Setelah puasa semalam, ditentukan kadar insulin dan glukosa. Ratio Glukosa:Insulin kurang atau sama dengan 4,5 menunjukkan resistensi insulin.
Cara lain adalah dengan euglycemic clamp tehnique yang lebih rumit , atau dengan kadar insulin puasa saja.
Pada penelitian random , Metformin menurunkan respon insulin serum terhadap pemberian glukosa oral, dan meningkatkan ovulasi (spontan – kombinasi dengan klomifen sitrat) dibandingkan plasebo.
Pada kasus anovulasi, kelompok metformin menginduksi 90% ovulasi (spontan/+ klomifen sitrat) dibandingkan 12% pada kelompok plasebo + klomifen sitrat.
Pada penelitian ini kadar insulin puasa rata rata adalah 20 mIU/ml, Glukosa puasa rata rata 75mg/dl.
Efek samping metformin yang paling sering adalah keluhan gastrointestinal dan diare.
Untuk mengurangi leluhan ini dianjurkan peningkatan dosis bertahap.
Metformin tidak menyebabkan hipoglikemi.
Obat lain : Troglitazone, Rosiglitazone, D Chiro-inositol.
2. Deksamethason.
Androgen adrenal khususnya dehydroepiandrosterone sulfat dan androstenedione serta metabolitnya estrone dan testosterone secara teoritis mempengaruhi aksis HHO. Dengan menekan androgen produksi adrenal ini akan memperkuat kerja klomifen sitrat .
Kombinasi deksamethason dan klomifen sitrat diberikan pada waita dengan kadar DHEAS > 200 mg/dl.
Penting dicatat glukokortikoid dapat menimbulkan eksaserbasi resistensi insulin.
3. Human Chorionic Gonadotropin (hCG).
Pada wanita yang tidak menunjukkan LH surge sekalipun gambaran USG menunjukkan perkembangan folikel yang baik, mungkin memerlukan suplementasi hCG.
HCG diberikan pda hari dimana diperkirakan diameter folikel mencapai 25mm/lebih, dan ovulasi terjadi 36-42 jam setelah hCG.
Sebagai tambahan , kecepatan perkembangan folikel 2-3mm/hr pada sekitar 5 hari sebelum ovulasi.
4. HMG (Human Menopausal Gonadotropin)
Terdapat level treshold FSH yang diperlukan untuk menunjang perkembangan folikel dan ovulasi.
Terdapat sekelompok wanita dengan anovulasi dan estrogenic yang tidak mampu membuat dan atau mempertahankan pelepasan FSH yang adekuat sebagai respon terhadap klomifen sitrat. Pada kelompok ini pemberian gonadotropin akan bermanfaat.
Protokolnya :
- klomifen sitrat mulai hari ke 5, dosis maksimum 200mg/hr.
- saat dosis terakhir ditambahkan injeksi gonadotropin harian (75-225IU)
- USG dilakukan setelah 4 dosis gonadotropin untuk mengevaluasi respon ovarium, penyesuaian dosis, serta menentukan saat pemberian hCG yaitu setelah ditemukan sekurangkurangnya satu folikel dengan diameter > 17mm.
Protokol ini memiliki pregnancy rate 44%, dengan multiple gestation rate 10,5%. Serta memiliki keuntungan dimana dosis gonadotropin yang dipakai lebih rendah ( keuntungan ekonomis), serta efek samping yang lebih rendah dalam hal resiko kehamilan multiple dan terjadinya OHSS.
STIMULASI OVULASI PADA TRB.
Tahapan dan peran beberapa sediaan untuk stimulasi ovulasi pada TRB :
GnRHa atau antagonis.
Gonadotropin.
Monitoring.
Penunjang fase luteal.
A. Pemberian GnRHa atau antagonis.
Pemberian GnRHa atau antagonis ini bertujuan untuk menekan sekresi GnRH dan gonadotropin endogen, dengan harapan :
Menghindari pengaruh gonadotropin endogen, sehingga kadar gonadotropin benar benar terkendali, tidak terjadi lonjakan LH diluar pengamatan (lonjakan LH premature). Selain itu saat untuk pengambilan oosit dapat diatur waktunya, sesuai dengan yang dikehendaki (pada pagi/siang hari).
Menekan estrogen untuk menekan pertumbuhan endometriosis. Ada pendapat bahwa pada kasus endometriosis berat, sebaiknya diberikan GnRHa dengan protokol panjang, untuk menekan pengaruh negatif (gangguan respon kekebalan tubuh) yang dihasilkan oleh endometriosis sebelum diberikan stimulasi ovulasi.
Menekan kadar LH pada kasus Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK). Kadar LH yang tinggi dari awal pada SOPK akan menurunkan kwalitas oosit. Hal ini salah satunya diduga akibat OMI yang sudah lebih awal dihambat kerjanya, oleh LH. Pemberian GnRHa protokol panjang akan menekan LH terlebih dahulu sebelum kemudian diikuti dengan pemberian bersamaan stimulasi ovulasi. Kwalitas oosit diharapkan menjadi lebih baik, dan kemungkinan besar folikel menjadi kurang lebih sama ukuran/pertumbuhannya sehingga memudahkan untuk monitoring.
Pemberian GnRHa ini tidak langsung menekan sekresi gonadotropin. Pada awalnya pemberian GnRHa ini akan memberikan rangsangan (flare up) setelah beberapa waktu baru memberikan penekanan (down regulation). Terdapat beberapa macam protokol pemberian GnRHa ini, tetapi saat ini yang kebanyakan dipakai adalah short protocol dan long protocol. Pada short protocol pemberian GnRHa pada umumnya dimulai pada hari ke-2 siklus haid dan diakhiri pada saat penentuan bahwa folikel sudah masak, dan sudah saatnya diberi hCG. Long protocol pemberian GnRHa dimulai pada hari ke 21 (pertengahan fase luteal) siklus sebelumnya, dan diakhiri sama seperti pada short protocol.
Berbeda dengan GnRHa, GnRH antagonis bekerja langsung menekan sekresi GnRH tidak ada dampak “flare up”. Karena GnRH antagonis bekerjanya langsung menekan, tidak ada “flare up” dan tujuan utama pemberiannya adalah untuk menghindari terjadinya lonjakan LH, maka pemberiannya juga langsung pada saat kemungkinan lonjakan LH tersebut bakal muncul. Terdapat dua macam protokol pemberian GnRH antagonis ini, dosis tunggal dan dosis ganda / beruntun (multiple). Pada umumnya dosis tunggal GnRH antagonis cukup diberikan sekali pada hari ke 8 siklus haid, dengan dosis 3 mg. Pada kasus yang stimulasinya (gonadotropin) memerlukan waktu yang lama (slow responders), pemberian GnRH antagonis dapat diulangi setiap 3-4 hari sampai saat pemberian hCG. Pada protokol dosis ganda GnRH antagonis mulai diberikan pada hari ke-7 siklus haid, dengan dosis 0,25 mg setiap hari sampai saat pemberian hCG.
Apabila dibandingkan antara pemakaian GnRH antagonis protokol tetap dengan GnRHa protokol panjang. Protokol GnRH antagonis ternyata lebih pendek, lebih sederhana dan jumlah ampul gonadotropin yang dipakai lebih sedikit. Kemampuan untuk mencegah lonjakan LH premature, dan kemampuan menekan terjadinya hiperstimulasi, sama antara kedua protokol ini.. Tetapi terdapat perbedaan antara jumlah oosit yang didapat dan angka kehamilan yang dihasilkannya. GnRH antagonis protokol tetap, menghasilkan jumlah oosit dan angka kehamilan yang lebih rendah, dibandingkan dengan GnRHa protokol panjang. Apakah kekurangan protokol tetap GnRH antagonis ini bisa diatasi dengan menyesuaikan protokolnya dengan karakteristik setiap individu, masih perlu diteliti lebih lanjut.
B. Pemberian gonadotropin.
Terdapat beberapa macam gonadotropin yang dapat digunakan untuk stimulasi ovulasi. Pada saat awal diperkenalkannya program fertilisasi in vitro dan embrio transfer (FIV-ET) sampai beberapa tahun kemudian gonadotropin yang digunakan adalah human menopausal gonadotropin (hMG). hMG ini disarikan dari urine dan setiap ampul hMG mengandung 75 IU FSH dan 75 IU LH. Pada awalnya LH disini dipikirkan untuk merangsang sel teka agar memproduksi androgen sebagai bahan dasar estrogen yang sintesanya dipicu dan dipacu oleh FSH. Sehingga terdapat dugaan bahwa untuk pertumbuhan folikel pada fase folikuler, diperlukan keberadaan LH. Tetapi pada sisi lain terdapat kenyataan klinik bahwa kalau kadar LH sudah tinggi dari awal siklus juga akan mengganggu pertumbuhan folikel. Maka muncul hipotesa bahwa ada batas kadar LH tertentu, yang diperlukan pada setiap fase pertumbuhan folikel (The LH “ceiling hypothesis”). Akhir akhir ini hipotesa tersebut mulai diragukan kebenarannya berdasarkan adanya kenyataan klinik dan beberapa penelitian. Pendapat baru, menduga bahwa LH tidak diperlukan untuk pertumbuhan folikel, LH hanya berperan pada akhir fase folikuler (lonjakan LH) untuk menyempurnakan maturasi folikel dan menjaga kwalitas oosit. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa akhir akhir ini banyak diusahakan untuk menghasilkan FSH murni. “Purified” FSH (pFSH) merupakan hasil awal memurnikan FSH dengan bahan dasar urine sama halnya seperti hMG. Kemudian pada perkembangan pemurnian lebih lanjut muncul FSH-HP (FSH highly purified) tetapi masih tetap dari bahan dasar urine. Perkembangan terakhir telah dihasilkan recombinant FSH (rhFSH) yang dihasilkan secara in vitro dengan teknik recombionant DNA, bukan dari urine, sehingga benar benar murni terbebas dari kontaminasi LH maupun protein lainnya.
Pemberian gonadotropin ini pada umumnya dimulai pada hari ke 2-3 siklus haid sebelum terbentuk folikel dominan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan lebih dari satu/banyak folikel yang masak. Pemberiannya secara titrasi dimulai dengan dosis rendah, bila saat monitoring dirasa pertumbuhannya kurang memuaskan, maka secara perlahan dosis dinaikkan. Gonadotropin diberikan sampai dengan folikel dikatakan / ditentukan sudah masak (berdasarkan penampang folikel dan serum estradiol).
Daya (2002) secara meta analisa membandingkan hasil stimulasi ovulasi dengan urine FSH (uFSH) dan rhFSH. Stimulasi dengan rhFSH memberikan angka kehamilan per siklus lebih tinggi dibanding dengan yang memakai uFSH. Selain itu disimpulkan pula bahwa jumlah ampul yang digunakan rhFSH lebih sedikit dibanding dengan uFSH.
Protokol pemberian gonadotropin ini (stimulasi ovulasi) banyak jenisnya, tergantung dari siklus ovulasi wanita (ovulasi normal, oligo ovulasi ataupun anovulasi) dan juga tergantung dari pengalaman pusat pelayanan itu sendiri dengan berbagai alasan.
C. Monitoring.
Monitoring pertumbuhan folikel, dikerjakan dengan transvaginal sonografi (TVS) untuk mengukur penampang folikel dan dibantu dengan pemeriksaan kadar serum estradiol secara beruntun. Selain untuk mengetahui apakah folikel sudah masak/matur, monitoring folikel ini juga untuk mengetahui respon folikel/dosis gonadotropin yang diberikan. Bila respon folikel dirasa belum memadai dosis gonadotropin bisa dinaikkan secara perlahan (titrasi). Pada umumnya folikel dikatakan masak bila penampangnya diatas 18 mm atau kadar estradiol kurang lebih 200 pg/ml per folikel yang penampangnya diatas 14 mm atau lebih (sebaiknya total estradiol dari seluruh folikel tidak lebih dari 3000 pg/ml). Pengalaman setempat sangat diperlukan untuk monitoring pertumbuhan folikel ini. Variasi antar pemeriksa, alat dan laboratorium cukup lebar. Respon ovarium terhadap stimulasi ovulasi ini dipengaruhi beberapa faktor salah satunya adalah faktor umur. Umur yang semakin lanjut, terutama yang sudah mendekati 40 tahun, ovariumnya sudah kurang peka terhadap stimulasi gonadotropin, sehingga memerlukan jumlah ampul yang lebih banyak. Pengukuran FSH basal (hari ke 3-4 siklus haid) merupakan usaha untuk meramalkan respon ovarium terhadap rangsangan gonadotropin nantinya. FSH basal yang meningkat merupakan petanda bahwa ovarium kurang peka terhadap gonadotropin, dan hal ini perlu didiskusikan dengan penderita sebelum program FIV-ET dimulai. Pemeriksaan TVS selain mengukur penampang folikel perlu diukur pula tebal dan kwalitas endometrium. Pada wanita yang pada saat folikel masak, sesaat sebelum diberi hCG, mempunyai tebal endometrium 8 mm atau lebih dengan gambaran trilaminar akan memberikan angka kehamilan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan yang mempunyai tebal 6 mm atau kurang dengan gambaran homogen.
Bila folikel sudah cukup masak (baik dengan TVS maupun kadar estradiol) maka diberikan hCG 5000 – 10.000 IU. Pemberian hCG ini dimaksudkan untuk menyempurnakan proses pemasakan folikel. Jarak waktu dari pemberian hCG sampai pengambilan oosit pada umumnya berkisar antara 34-36 jam.
Hiperstimulasi merupakan komplikasi yang mungkin timbul pada stimulasi ovulasi. Salah satu usaha untuk menghindari komplikasi hiperstimulasi ini adalah dengan memberikan gonadotropin dosis rendah, terutama untuk wanita dengan SOPK. Stimulasi ovulasi kasus SOPK dengan FSH murni tidak akan mengurangi resiko untuk terjadinya hiperstimulasi ini.
D. Penunjang Fase Luteal.
Pasca transfer embrio pada umumnya diberikan penunjang fase luteal meskipun hal ini tidak semua sarjana sependapat akan kegunaannya. Terdapat dua macam obat yang digunakan untuk menunjang fase luteal pada program FIV-ET, yaitu progesterone alami atau hCG. Progesteron dapat diberikan melewati vagina (supositoria), oral ataupun suntikan intra muskulus (im). Keuntungan pemberian progesterone disini adalah dapat menghindari untuk terjadinya hiperstimulasi yang sudah ada, menjadi lebih berat. Penunjang fase luteal dengan hCG diberikan 1500 IU setiap 3 hari selama 4 kali. Pemberian hCG ini dapat memperberat hiperstimulasi. Diagnosis adanya kehamilan dapat mulai diketahui dengan pemeriksaan serum hCG (kwantitatif) beruntun mulai hari ke 12 pasca transfer embrio. Pemeriksaan hCG beruntun selang 3 hari dapat dipakai untuk meramalkan prognosis kehamilan yang terjadi. Kenaikan hCG yang berlipat dua menunjukkan adanya prognosis yang baik. Diagnosis dan prognosis kehamilan dapat pula diketahui dengan TVS. Detak jantung janin yang mulai dapat dideteksi pada 5 minggu pasca transfer embrio merupakan petanda adanya prognosis kehamilan yang baik.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa banyak macam protokol stimulasi yang dipakai pada pusat pelayanan bayi tabung. Setiap protokol mempunyai kelebihan dan kekurangannya, masing masing. Protokol yang berbeda beda ini akan mudah dipahami/ dinilai bila dikembalikan lagi pada dasar dasar fisiologi terjadinya ovulasi.
INDUKSI OVULASI PADA KEADAAN HIPOESTROGEN.
Sebelum memulai induksi ovulasi , penyebab hipoestrogen harus di evaluasi terlebih dahulu . Dilakukan anamnese menyeluruh terhadap nutrisi khususnya ‘eating .disorder’, anorexia nervosa, bulimia, jumlah aktivitas fisik perminggu, serta pemeriksaan densitas tulang.
Salah satu pilihan adalah memberikan Gonadotropin eksogen. Respon yang didapat sangat bervariasi.
Beberapa sensitive terhadap Gonadotropin dosis rendah (75IU) beberapa memerlukan dosis tinggi (450IU, selama > 14 hari).
Monitoring dengan TVS dan E2 tetap dilakukan.
Resiko hiperstimulasi lebih rendah dibandingkan kelompok PCO.
Resiko kehamilan multiple berkaitan dengan jumlah folikel intermediate (15-17mm) saat pemberian HCG.
Suport luteal diberikan progesterone saja atau dikombinasi dengan HCG dosis rendah.
Pilihan lain adalah dengan GnRHa, yang diberikan secara pulsatil dengan pompa portable.
RINGKASAN.
Terdapat sejumlah pilihan pada induksi ovulasi pada keadaan anovulasi atau PCOS. Penanganan terbaik adalah kasus per kasus, tetapi klomifen sitrat merupakan pilihan pertama.
Pada keadaan resisten klomifen sitrat terapi kombinasi sering berhasil menuju ke kehamilan.
Pada kasus yang tidak berrespon terhadap dosis maksimal klomifen sitrat , tidak hamil sekalipun berovulasi, atau gejala efek antagonis estrogen, maka pilihan berikutnya adalah gonadotropin.
Beberapa kasus dengan PCO hanya berrespon terhadap Gonadotropin dengan resiko kehamilan multiple dan OHSS yang lebih tinggi.
Pada anovulasi dan amenore hipothalamik pilihan induksi ovulasi lebih terbatas. Fase luteal harus disuport. Hipothalamus tidak dapat mensuport korpus luteum dan kehamilan dini.
.
DAFTAR KEPUSTAKAAN.
Speroff Leon, Glass Robert H.,Kase Nathan G. (1999), Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Ed.VIth, Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins. p.159-200, 201-246, 1097-1132, 1133-1148.
Lynda Jw. Ovulation induction. In : Clinical Obstetrics and Gynecology. Lippincott William Wilkins. Vol 43, No 4, p 902-915, 2000.
Kaylen M Silverberg. Evaluation of the couple wih infertility in a managed care environment. In : Clinical Obstetrics and Gynecology. Lippincott William Wilkins. Vol 43, No 4, p 844-853, 2000.
John T Queenam, Gail whinan. An apreciation of Modern ART. In : Clinical Obstetrics and Gynecology. Lippincott William Wilkins. Vol 43, No 4, p 942-957, 2000.
Kamini A. Rao. Anovulation. In : Reprod. Endocrinology. A Clinical approach. 2nd ed. Jaypee Brothers med publish. 161-165.
Bathena RK. Superovulation strategies in Assisted Conception. In: The Infertility manual. Jaypee Br. 1st ed. 2001. p 273-279.
Biraj Kalyan. Monitoring of ovulation Induction. In: The Infertility manual. Jaypee Br. 1st ed. 2001. p 281-289.
Samsulhadi. Stimulasi ovulasi. Disampaikan pada Kongres I Indonesia society of reproducttive technology. Thr Grand Bali Beach, 3-4 Oktober 2003. Denpasar, Bali.
Juan Balasch. Inducing follicular development in anovulatory patients and normally ovulating women : current concept and the role of rec. Gonadotropin. In: Text book of ART. 2001. Martin Dunitz. P 435-436.
Ludwig M. Gonadotropin regimen in treatment of an ovulation. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. p23.
Olivennes F. Minimal ovarian stimulation. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P37.
Zeleznik AJ. Pathophysiology of follicle recruitment and selection. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P19.
Zeleznik AJ.Physiological Aspects. Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P31.
Leo DV, Morgante G. Use of insulin sensitizing agents in ovulation induction. . Fourth world congress on ovulation Induction. 2004. From anovulation to assisted reproduction. Bologna Italy. P24.
Salim Daya, Joanne Gunby. Recombinant versus urinary follicle stimulating hormone for ovarian stimulation in assisted reproduction. Human Reproduction 1999;14:2207-2215.
Costello MF, Eden JA. A systematic review of the reproductive system effects of metformin in patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2003;79:1-13.
Meniru G, Tsirigotis M. Controlled superovulation for intrauterine insemination. In: A Hand book of Intra Uterine Insemination.Cambridge University press 1997, p 77-96.